Tentang
Pesta
satu
waktu kau pasti akan mengerti
mengapa
pesta masih harus digelar,1
diminati
dan ditangisi
2011
1Dari puisi “Pada Sebuah Pesta-Irianto
Ibrahim”
Suatu
Ketika di Kawali I:
Mengenang
Sawah dan Ladang
Sekarang tentulah sawah dan
ladang telah berubah tuahnya
Hingga semuanya
begitu sukar untuk dicatat dan diterjemahkan
Dahulu
kami begitu terbiasa untuk bangga dengan apa
yang
kami hasilkan. Meskipun hanya padi-padi dan ubi alakadarnya,
tapi kami masih mampu
memahami apa yang kami pikirkan,
dan apa
yang kami lakukan. Di antara perjalanan
matahari,
anak-anak
kami masih setia memainkan lumpur musim penghujan.
Dan
jikalah musim berganti memanas, anak-anak kami
berpaling
pada
layangan kertas juga jerami-jerami yang mulai kering.
Tapi itu hanya tergantung musim, bukan
karena siapa yang memimpin
Sekarang sawah dan ladang kami hanya
menyisakan ingatan,
gedung-gedung
pertokoan, dan kenangan yang diperjualbelikan
Menghantam masa silam
Begitulah, kota
ini selalu memaksa kami untuk mengingat sawah,
ladang,
dan kenang-kenangan kota kami yang hampir samar,
lalu
luput dari catatan sejarah
Lagi-lagi,
luput dari catatan sejarah.
Orasi Mimpi-mimpi Buruh Pabrik
jika
perlu peraslah sisa keringat kami yang hampir habis
terkikis
mesin pabrik atau nasib yang telah menjadi
bagian
kami. lalu tinggikanlah bagian-bagian
yang
telah kami janjikan pada keluarga kami tempo hari,
tentang
doa-doa yang bisa menebus getirnya prasangka kami.
kemudian
ingatlah baik-baik apa yang telah kami
catat
dari
nasib dan hari-hari dalam pabrik, sebab dada kami
sudah tak mampu lagi untuk menahan segalanya.
dan akhirnya, hanya mengaburkan kembali mimpi
anak-anak
kami dari ibunya.
tuan,
jikalah benar mimpi telah menjadi modal pertunjukan
tuan-tuan,
lalu mengapa bagi kami mimpi hanya menjadi
sesuatu
yang datang dan pergi begitu saja, tak
berjejak,
tak
pula menyisakan kata-kata.
Sajak
yang Terluka
I/
kutulis
sajak sebagai pelengkap doa-doa,
sebagai
letupan kekecewaan
yang
teramat dalam.
II/
telah
kusinggahi kota-kota dengan lampu
yang
nyala, kutelusuri tanah-tanah
dengan
prahara muka bumi yang tertanam,
serta
kujelajahi pula ketinggian gunung
yang
selama ini menopang kepedihan langit.
tetapi
sejauh perjalananku itu, sejauh mataku
melihat
apa yang terlihat, aku tidak menemukan
apapun
yang menjadi kebahagiaan hidup.
di
setiap tempat aku melihat orang-orang
membuat
pesta kesedihan. mereka saling
memakan
tangan, kepala, kaki, jantung,
urat
nadi, usus dua belas jari, ulu hati,
serta
kebahagian-kebahagian mereka sendiri.
semakin
banyak yang mereka makan, semakin
lupa
pula mereka akan bayangan-bayangan
kepedihan,
hidup dan kepulangan.
telah
banyak orang mengirim doa pada tuhan,
telah
banyak pula tuhan mengirim kesedihan.
hingga
akhirnya semakin banyak pula
orang-orang
yang hidup di atas kekecewaan.
III/
Tuhan,
jika bagi sebagian orang kebahagiaan
lebih
nyata dari mimpi-mimpi basah
yang
menggembirakan. maka bagi kami,
selama
ini kebahagiaan hanyalah dongengan
dan
cerita yang persis sama dalam imaji, buku,
kitab,
dan percakapan-percakapan sampah
yang
dijungkirbalikan dari kepedihan
dan
pesakitan orang-orang yang terluka
karena
segala ketiadaannya.
Tuhan,
melalui sajak ini aku menulis luka,
melengkapi
doa-doa yang selama ini ada.
bahagiakanlah
kesedihan kami,
orang-orang
yang telah terusir
dari
permohonan-permohonannya sendiri.
Tentang
Anak-anak Kami
“sepanjang
perjalanan,
kita
masih ditikam sisa-sisa mimpi,
lebih
buruk dari anjing lapar
dan
kedinginan”
matahari
itu akan terus melewati waktu,
menyusuri
jejaknya, hingga menemukan
nasibnya
sendiri. sementara sebagian
kepala
kami telah bosan dengan bayi-bayi
yang
terus menangisi kelahirannya,
orang-orang
yang terbakar lahannya,
atau
gedung-gedung yang terus bermunculan
dari
atas kubangan kepedihan dan
kematian kami
oh
Tuhan yang maha perkasa
sejak
lahir kami telah dibekali doa-doa
dan
shalawat nabi. kami tak pernah
menyembelih
istri ataupun memakan saudara
dan
anak-anak kami. tetapi mengapa
kami
masih serupa keledai tanpa kepala,
memuja
plaza, dan terus memasuki hidup
yang
papa, dunia tanpa penjaga
anak-anak
kami beriman dengan kemaluannya,
mereka
mengaji dan berbakti sedari bayi,
bersuci
sampai telapak kaki
tapi
setelah dewasa, mereka hanya meludah
dan
menjilati riwayatnya sendiri
rintih
tangisan mereka serupa dentuman
yang
meninggalkan luka di telinga kami
mereka
berjalan sempoyongan
kelimbungan, terhantam beton-beton megah
yang
keluar dari matanya, dan tak henti
mengoyak-ngoyak
isi kepalanya
oh
Tuhan yang maha perkasa
sampai
kapan kami akan terus berdoa,
jika
setelah kami mati,
matahari
masih enggan pergi
sedang
anak-anak kami,
semakin
bangga dengan ludah
dan jilatannya sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar