Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Sabtu, 21 Juni 2014

Puisi tentang Cirebon



Yang Kita Lupakan di Caruban1


siapapun bisa saja pergi ke tempat
yang tidak pernah menjadi bayangannya.
tempat mana saja. tempat asing lagi jauh,
atau tempat yang pernah dikenalnya
sebagai nama, sebagai tempat
yang sesekali dilewati dan tersinggahi.

setiap tempat memang menyuguhkan
kekhasannya sendiri. tapi barangkali
tidak semua tempat akan mengulangkan
peristiwa yang sama, kekakuan perasaan
yang muncul tiba-tiba.

kita sepakat bahwa sejak silam
kehidupan telah mengajarkan
kesadaran manusia bahwa nasiblah
susunan ketidakterdugaan itu,
hadiah tuhan paling berharga
yang sekaligus pula paling semu.

begitulah, sebab meskipun seseorang
merencanakan hidupnya, ia tetap
tidak bisa menjinakkan waktu.
semakin ia bersikeras melawan waktu,
semakin bermunculanlah hal-hal baru
yang tabu dalam setiap bayangan
nasibnya.

seperti halnya malam itu,
ketika jelmaan seekor naga
memainkan perannya,
seorang laki-laki dan perempuan
yang belum sekalipun bertemu
duduk di aspal jalan, menyaksikan
pertunjukan si naga yang kental.

naga itu berputar, meloncat dan riang.
barangkali seriang Lie Ong Tien2
ketika pertama kali datang ke sini,
membawa nasibnya untuk tak pernah
pulang lagi, untuk semakin menyesalkan
keangkuhan seorang Hong Gie3.

tapi si naga tahu bahwa kedatangannya
harus menjadi bagian kegembiraan
dari lantunan riwayat angin utara.

naga pun terus meloncat diiringi
nayaga3. segenap penonton bersorak,
namun lanskap kota terus terkoyak,
mengasingkan carita pustaka wangsa4
dari setiap ingatan masa kanak.
tapi sejarah tak akan berhenti
melukiskan dirinya, sekalipun
di atas kaca yang mudah retak.

kini kewajaran telah tumbuh
bersama hasrat modernomaniak,
kota pun berdiri menjadi kerajaan
yang galak. namun bagaimanapun,
kesejahteraan kian membuat siapa
dan apa saja menjadi jinak. lantas
untuk apa doa-doa perlawanan
jika hanya sebagai pengantar tidur
yang tak lagi membuat nyenyak.

itulah yang pada akhirnya mengungsikan
para pembangkang ke tanah-tanah bukit.
meninggalkan keraton serta elangnya5
sebagai kenangan juga igauan yang sakit. 

imajinasi kota ini telah mengalah,
meleburkan bentuknya bersama rapalan
setiap peziarah, menjelaskan bayangannya
pada gambar keramik, laju canting batik,
topeng yang pelik, dendang pesisiran
dangdanggula6 yang memekik.

di sini keyakinan serupa azimat paling
mustajab. sekali ragu, maka rapuhlah
segalanya. seperti mendungnya mega-mega
yang tak lagi jadi tolak bala−bukan hanya
karena keberadaannya yang hampir tak ada,
tapi musabab kehilangannya yang nyata.

mata laki-laki dan peremuan itu bertatapan,
saling menahan pertanyaan dan lekas
menghindar dari setiap jawaban. mereka
menjadi lakon dari setiap pertunjukan,
namun tak pernah ada dialog bagi keduanya.
nama-nama dibiarkannya menjadi isyarat
yang tak pernah terucap−sebab bagi mereka
pertemuan adalah jejak perpisahan itu sendiri;
seperti sajak yang akan dikenangkan,
untuk kemudian disirnakan kehilangan.

dalam diri masing-masing mereka berucap;
kapal-kapal tambat di dermaga, serupa kita
yang hanya singgah saja. tapi dari setiap kita
menyimpan ingatan yang lebih lekat dari
rapuhnya gudang-gudang tua tak bernama.
kita pun tahu bahwa kita tak akan disapa
siapa-siapa. kita juga ingat bahwa daun jati
dan wali lebih dulu menegaskan namanya
di sini, di setiap doa-doa yang sepi.

akhirnya mereka pun saling menimpal
ucapannya sendiri, pada dirinya sendiri;
barangkali di waktu-waktu kemudian
akan datang kepada kita serupa penyesalan.
sebagaimana kita lupa betapa berartinya
perkenalan, percakapan, pertemuan
dan perpisahan yang telah kita lupakan.
begitupun tentang bagaimana Caruban ini,
yang sedikit demi sedikit telah pula
kita lupakan.

nayaga terus memainkan temponya
Caruban melaju menuju nasibnya
dan sepasang mata yang satunya
untuk tidak terus menyesalinya
telah melupakan pasang mata lainnya
tapi tidak dalam sajaknya.



2013-2014


1Caruban: Asal mula nama Cirebon, sebuah daerah di pesisir utara Jawa Barat. Diambil dari penamaan dalam naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari” yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon.

2Lie Ong Tien: Putri China yang menjadi istri Sunan Gunung Jati.

3Hong Gie: Ayah dari Lie Ong Tien. Kaisar China di masa Dinasti Ming.

4Nayaga: Istilah Sunda dan Cirebon yang berarti orang atau sekelompok orang yang mempunyai keahlian memainkan alat musik gamelan.

5Elang: Nama gelar bangsawan Kesultanan Cirebon.


6Dangdanggula: Puisi lisan Cirebon yang menceritakan bagian pertama Babad (asal mula) Cirebon. Biasanya dinyanyikan dalam acara-acara tertentu dengan diiringi gamelan yang dimainkan nayaga.


*Termuat dalam Antologi "Fragmen Perjamuan" (Asas UPI. Bandung. 2014)