Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Jumat, 07 Februari 2014

Esai "Yang Tidak Sia-sia dari Sastra"

Yang Tidak Sia-sia dari Sastra

Oleh: Arinda Risa Kamal*


Politisi bisa saja menganggap sastra sebagai igauan belaka. Pengusaha, PNS, pegawai bank, petani, penambak udang, pedagang, buruh, pengangguran atau apresiator lain boleh juga menilai sastra sebagai keindahan hayalan saja. Meskipun akademisi dan praktisi sastra begitu teguh menganggap sastra sebagai obat, estetik bahasa, pemikiran, sari pati kehidupan, atau bahkan profesi, tapi siapapun tetap boleh berpikir apa saja tentang sastra. Ya, mengapa tidak? Bukankah hari ini sastra memang telah menjadi sesuatu yang semu dan ambigu?

Meskipun secara keilmuannya sastra telah mengukuhkan diri sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar definisi yang disepakati, tapi dalam kenyataan yang lainnya, sastra masih melulu diperdebatkan, terutama mengenai fungsi dan kesastraannya itu sendiri.

Semu dan ambigunya sastra kian kentara tatkala kita mulai bertanya sejauh manakah sastra mampu menopang kehidupan (di sekitar) kita? Seampuh apakah sastra mengatasi kejanggalan yang ada? Apakah sastra akan memakmurkan sebuah bangsa? Apakah yang disebut sastra? Atau, benarkah kita masih membutuhkan sastra?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya terasa menohok dan barangkali berlebihan. Tapi bagaimanapun sastra tidak akan pernah bisa kita hindarkan dari kehidupan. Sekalipun orang menganggap bahwa sastra adalah kesia-siaan−sebenarnya disadari ataupun tidak, pengakuan tersebut sekaligus pula telah mengakui keberadaan sastra bagi dirinya, meskipun sebatas sastra yang dangkal.

Sejak dahulu di tingkat Sekolah Menengah Pertama sastra telah diperkenalkan dan diajarkan kepada semua siswa. Begitupun di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tapi karena porsi, tujuan pembelajaran sastra rasa-rasanya tak ubahnya hanya sebatas pelajaran hafalan saja. Siswa hanya menghafal nama-nama sastrawan, analisis struktural, angkatan dan beberapa karya. Sedangkan karya-karya sastranya, luput dari pembacaan. Pengalaman bersastra inilah kiranya yang membuat sastra dan fungsinya terasa berjarak dengan kehidupan secara langsung.

Berkali-kali komunitas-komunitas sastra di hampir semua daerah mengadakan acara pembacaan karya sastra, diskusi dan sebagainya. Kegiatan semacam ini menjadi ruang pembelajaran sastra non formal. Namun kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah ruang yang benar-benar menjadikan apresiator mampu merasakan manfaat dan fungsi sastra secara mendalam.

Pada akhirnya kegiatan-kegiatan sastra dan barangkali sastra sendiri pun terkesan seperti euforia belaka. Perayaan, ya, seperti perayaan. Entah merayakan apa, barangkali benar merayakan sebuah keganjilan di tengah arus genapnya kehidupan yang mulai dipengaruhi banyak hal, terutama materiil.

Kita tidak akan pernah bisa mengerti seperti apa dan bagaimana sastra jika kita tidak pernah membacanya. Kita tidak akan merasakan apa-apa dari sastra tatkala kita hanya melihat sastra dari luar saja, dari acara-acara komunitas sastra saja. Kita pun akan merasa muak dengan sastra jika sastra yang kita baca adalah karya yang bukan sastrawi. Kita tidak akan mengerti mengapa novel-novel Pramoedya Ananta Toer diberangus penguasa orde baru jika kita tidak membacanya. Kita tidak akan paham mengapa puisi-puisi Wiji Thukul dan W.S. Rendra di masa menyambut reformasi dilarang untuk dibacakan di ruang publik jika kita tidak pernah mengetahui puisi-puisinya.

Sastra sebagai salah satu karya seni berfungsi menjadi media hiburan sekaligus media pembelajaran, atau dalam istilah Horatius yang seorang filsuf adalah dulce et utile. Tapi bagaimana kita bisa mengalami diri terhibur dan tercerahkan karena sastra jika kita tidak pernah membaca karya-karya sastra? Bagaimana kita bisa mengalami fungsi estetis, fungsi etis, fungsi didaktis dan fungsi reflektif dari sastra jika membaca yang benar-benar karya sastranya pun tidak?

Seorang sahabat Rasul pernah mengungkapkan, “Ajarkanlah sastra, agar ia menjadi seorang pemberani.” Sastra memang bukan hanya satu-satunya yang menjadikan seseorang pemberani. Tapi pendapat tersebut berdasar bahwa sastra akan lebih jauh dari itu. Sastra bisa membuat seseorang mengerti, berpikir dan menemukan ideologi. Seperti yang disepakati, bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu membuat pembacanya berpikir lebih mendalam karena isi sastrawinya.

Membaca karya sastra memang tidak akan membuat kita kaya raya, naik jabatan atau mengentaskan pengangguran. Tapi dengan membaca karya sastra yang baik, kita akan terus didorong untuk memahami dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun begitu, sastra selama tidak dibaca adalah benar sia-sia semata.

Dikarenakan hari ini karya sastra pop cenderung lebih banyak dan mudah ditemui daripada karya sastrawi, maka tentu, apresiator sastra yang baik adalah mereka yang selain membaca karya-karya sastra pop, juga membaca karya-karya sastrawi yang mampu memberikan banyak inspirasi.

Jika hari ini kehidupan telah membuat kita luput dari sastra, maka kita patut merenungkan apa yang diungkapkan Octavio Paz, seorang peraih penghargaan Nobel Sastra di tahun 1990. “Masyarakat yang meninggalkan puisi (sastra) adalah masyarakat yang tengah melakukan bunuh diri spiritual secara masal.” Jikapun hari ini kita terus merasa ragu atau bahkan antipati terhadap sastra, jangan-jangan selama ini kita telah salah membaca, dan itu artinya kita harus lebih banyak lagi membaca karya-karya sastra!(*)








*Arinda Risa Kamal, lulusan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
)*dok media