Yang
Kita Lupakan di Caruban1
siapapun
bisa saja pergi ke tempat
yang
tidak pernah menjadi bayangannya.
tempat
mana saja. tempat asing lagi jauh,
atau
tempat yang pernah dikenalnya
sebagai
nama, sebagai tempat
yang
sesekali dilewati dan tersinggahi.
setiap
tempat memang menyuguhkan
kekhasannya
sendiri. tapi barangkali
tidak
semua tempat akan mengulangkan
peristiwa
yang sama, kekakuan perasaan
yang
muncul tiba-tiba.
kita
sepakat bahwa sejak silam
kehidupan
telah mengajarkan
kesadaran
manusia bahwa nasiblah
susunan
ketidakterdugaan itu,
hadiah
tuhan paling berharga
yang
sekaligus pula paling semu.
begitulah,
sebab meskipun seseorang
merencanakan
hidupnya, ia tetap
tidak
bisa menjinakkan waktu.
semakin
ia bersikeras melawan waktu,
semakin
bermunculanlah hal-hal baru
yang
tabu dalam setiap bayangan
nasibnya.
seperti
halnya malam itu,
ketika
jelmaan seekor naga
memainkan
perannya,
seorang
laki-laki dan perempuan
yang
belum sekalipun bertemu
duduk
di aspal jalan, menyaksikan
pertunjukan
si naga yang kental.
naga
itu berputar, meloncat dan riang.
barangkali
seriang Lie Ong Tien2
ketika
pertama kali datang ke sini,
membawa
nasibnya untuk tak pernah
pulang
lagi, untuk semakin menyesalkan
keangkuhan
seorang Hong Gie3.
tapi
si naga tahu bahwa kedatangannya
harus
menjadi bagian kegembiraan
dari
lantunan riwayat angin utara.
naga
pun terus meloncat diiringi
nayaga3.
segenap penonton bersorak,
namun
lanskap kota terus terkoyak,
mengasingkan
carita pustaka wangsa4
dari
setiap ingatan masa kanak.
tapi
sejarah tak akan berhenti
melukiskan
dirinya, sekalipun
di
atas kaca yang mudah retak.
kini
kewajaran telah tumbuh
bersama
hasrat modernomaniak,
kota
pun berdiri menjadi kerajaan
yang
galak. namun bagaimanapun,
kesejahteraan
kian membuat siapa
dan
apa saja menjadi jinak. lantas
untuk
apa doa-doa perlawanan
jika
hanya sebagai pengantar tidur
yang
tak lagi membuat nyenyak.
itulah
yang pada akhirnya mengungsikan
para
pembangkang ke tanah-tanah bukit.
meninggalkan
keraton serta elangnya5
sebagai
kenangan juga igauan yang sakit.
imajinasi
kota ini telah mengalah,
meleburkan
bentuknya bersama rapalan
setiap
peziarah, menjelaskan bayangannya
pada
gambar keramik, laju canting batik,
topeng
yang pelik, dendang pesisiran
dangdanggula6 yang memekik.
di
sini keyakinan serupa azimat paling
mustajab.
sekali ragu, maka rapuhlah
segalanya.
seperti mendungnya mega-mega
yang
tak lagi jadi tolak bala−bukan hanya
karena
keberadaannya yang hampir tak ada,
tapi
musabab kehilangannya yang nyata.
mata
laki-laki dan peremuan itu bertatapan,
saling
menahan pertanyaan dan lekas
menghindar
dari setiap jawaban. mereka
menjadi
lakon dari setiap pertunjukan,
namun
tak pernah ada dialog bagi keduanya.
nama-nama
dibiarkannya menjadi isyarat
yang
tak pernah terucap−sebab bagi mereka
pertemuan
adalah jejak perpisahan itu sendiri;
seperti
sajak yang akan dikenangkan,
untuk
kemudian disirnakan kehilangan.
dalam
diri masing-masing mereka berucap;
kapal-kapal
tambat di dermaga, serupa kita
yang
hanya singgah saja. tapi dari setiap kita
menyimpan
ingatan yang lebih lekat dari
rapuhnya
gudang-gudang tua tak bernama.
kita
pun tahu bahwa kita tak akan disapa
siapa-siapa.
kita juga ingat bahwa daun jati
dan
wali lebih dulu menegaskan namanya
di
sini, di setiap doa-doa yang sepi.
akhirnya
mereka pun saling menimpal
ucapannya
sendiri, pada dirinya sendiri;
barangkali
di waktu-waktu kemudian
akan
datang kepada kita serupa penyesalan.
sebagaimana
kita lupa betapa berartinya
perkenalan,
percakapan, pertemuan
dan
perpisahan yang telah kita lupakan.
begitupun
tentang bagaimana Caruban ini,
yang
sedikit demi sedikit telah pula
kita
lupakan.
“nayaga terus memainkan temponya
Caruban melaju
menuju nasibnya
dan sepasang
mata yang satunya
untuk tidak
terus menyesalinya
telah melupakan
pasang mata lainnya
tapi tidak dalam
sajaknya.”
2013-2014
1Caruban:
Asal mula nama Cirebon, sebuah daerah di pesisir utara Jawa Barat. Diambil dari
penamaan dalam naskah “Carita Purwaka
Caruban Nagari” yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon.
2Lie Ong Tien:
Putri China yang menjadi istri Sunan Gunung Jati.
3Hong Gie:
Ayah dari Lie Ong Tien. Kaisar China di masa Dinasti Ming.
4Nayaga:
Istilah Sunda dan Cirebon yang berarti orang atau sekelompok orang yang
mempunyai keahlian memainkan alat musik gamelan.
5Elang:
Nama gelar bangsawan Kesultanan Cirebon.
6Dangdanggula:
Puisi lisan Cirebon yang menceritakan bagian pertama Babad (asal mula) Cirebon.
Biasanya dinyanyikan dalam acara-acara tertentu dengan diiringi gamelan yang
dimainkan nayaga.