Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Minggu, 28 Desember 2014

Beberapa Sajak 2012-2013

Gigil Hujan Desember


barangkali pada lentik mata itulah akhirnya aku menyerah
untuk tidak mengatakan apapun padamu, sedang aku sendiri
tidak pernah benar-benar mengingat untuk keberapa kalinya
kita disergap gigil hujan dan kecemasan, barangkali sembilan,
barangkali sebanyak datangnya kesepian. bahkan di kemudian
yang kesekian pun ia hanya menyalapadamkan keyakinan
dan kerapuhan-kerapuhan yang pernah kita miliki,
dan untuk tidak mengungkapkan apapun.

tapi pada buku-buku yang menyimpan berbagai peristiwa
kita genap, kemudian kenyataan, sebagaimana ia hadir untuk
dipertanyakan, semakin membuat kita merasa ganjil pada hidup
yang ternyata hanyalah kekosongan-kekosongan kita sendiri.
lantas keinginan, selalu datang dan menawarkan berbagai
kemungkinan, meski pada waktu di mana kita merasa sangsi
dan sendirian. Sri, seandainya hujan adalah tuhan yang datang
dengan berbagai kesenangan, barangkali kita tidak akan pernah
benar-benar merasa kesepian. tapi betapa menyedihkannya
hujan yang kita miliki di sepanjang Desemeber ini, berulang kali
hanya menahan kita pada kemurungan yang sama,
dan pada akhirnya, menyergap kita dengan berbagai kekosongan,
dan masih, hanya untuk tidak mengungkapkan apapun.
selain gigil dan basah hujan. selain kesepian.



2012-2013





Yang Menyergapku Bukanlah Sepi


yang menyergapku bukanlah sepi,
bukan pula kembara yang abadi.

telah berulang kali kutulis namamu
sebagai bahasa tubuh yang sesal,
namun ingatanku menahannya dari
setiap pecahan masa silam, selalu.
walaupun setiap kali hujan turun
dan menawarkan kenangan akan
basah dadamu, lekuk perempuan
yang menggenapkan kesedihan,
badanku terus gigil dan ketakutan.
entah apa sebabnya. barangkali adalah
rambutmu yang hitam ikal, dan kekal
di mataku, lantas semakin membuat
semua bayang-bayangmu riskan untuk
kujadikan muasal sajak-sajakku.

begitulah kesedihanku,
bukanlah aku yang menghindar
dari namamu, tapi adalah ia,
bahasa baru yang liar dan sendiri,
yang dikekalkan sepi
dari setiap bayangmu,

dari setiap kegagalan sajak-sajakku.




2013

*Dok

Sabtu, 21 Juni 2014

Puisi tentang Cirebon



Yang Kita Lupakan di Caruban1


siapapun bisa saja pergi ke tempat
yang tidak pernah menjadi bayangannya.
tempat mana saja. tempat asing lagi jauh,
atau tempat yang pernah dikenalnya
sebagai nama, sebagai tempat
yang sesekali dilewati dan tersinggahi.

setiap tempat memang menyuguhkan
kekhasannya sendiri. tapi barangkali
tidak semua tempat akan mengulangkan
peristiwa yang sama, kekakuan perasaan
yang muncul tiba-tiba.

kita sepakat bahwa sejak silam
kehidupan telah mengajarkan
kesadaran manusia bahwa nasiblah
susunan ketidakterdugaan itu,
hadiah tuhan paling berharga
yang sekaligus pula paling semu.

begitulah, sebab meskipun seseorang
merencanakan hidupnya, ia tetap
tidak bisa menjinakkan waktu.
semakin ia bersikeras melawan waktu,
semakin bermunculanlah hal-hal baru
yang tabu dalam setiap bayangan
nasibnya.

seperti halnya malam itu,
ketika jelmaan seekor naga
memainkan perannya,
seorang laki-laki dan perempuan
yang belum sekalipun bertemu
duduk di aspal jalan, menyaksikan
pertunjukan si naga yang kental.

naga itu berputar, meloncat dan riang.
barangkali seriang Lie Ong Tien2
ketika pertama kali datang ke sini,
membawa nasibnya untuk tak pernah
pulang lagi, untuk semakin menyesalkan
keangkuhan seorang Hong Gie3.

tapi si naga tahu bahwa kedatangannya
harus menjadi bagian kegembiraan
dari lantunan riwayat angin utara.

naga pun terus meloncat diiringi
nayaga3. segenap penonton bersorak,
namun lanskap kota terus terkoyak,
mengasingkan carita pustaka wangsa4
dari setiap ingatan masa kanak.
tapi sejarah tak akan berhenti
melukiskan dirinya, sekalipun
di atas kaca yang mudah retak.

kini kewajaran telah tumbuh
bersama hasrat modernomaniak,
kota pun berdiri menjadi kerajaan
yang galak. namun bagaimanapun,
kesejahteraan kian membuat siapa
dan apa saja menjadi jinak. lantas
untuk apa doa-doa perlawanan
jika hanya sebagai pengantar tidur
yang tak lagi membuat nyenyak.

itulah yang pada akhirnya mengungsikan
para pembangkang ke tanah-tanah bukit.
meninggalkan keraton serta elangnya5
sebagai kenangan juga igauan yang sakit. 

imajinasi kota ini telah mengalah,
meleburkan bentuknya bersama rapalan
setiap peziarah, menjelaskan bayangannya
pada gambar keramik, laju canting batik,
topeng yang pelik, dendang pesisiran
dangdanggula6 yang memekik.

di sini keyakinan serupa azimat paling
mustajab. sekali ragu, maka rapuhlah
segalanya. seperti mendungnya mega-mega
yang tak lagi jadi tolak bala−bukan hanya
karena keberadaannya yang hampir tak ada,
tapi musabab kehilangannya yang nyata.

mata laki-laki dan peremuan itu bertatapan,
saling menahan pertanyaan dan lekas
menghindar dari setiap jawaban. mereka
menjadi lakon dari setiap pertunjukan,
namun tak pernah ada dialog bagi keduanya.
nama-nama dibiarkannya menjadi isyarat
yang tak pernah terucap−sebab bagi mereka
pertemuan adalah jejak perpisahan itu sendiri;
seperti sajak yang akan dikenangkan,
untuk kemudian disirnakan kehilangan.

dalam diri masing-masing mereka berucap;
kapal-kapal tambat di dermaga, serupa kita
yang hanya singgah saja. tapi dari setiap kita
menyimpan ingatan yang lebih lekat dari
rapuhnya gudang-gudang tua tak bernama.
kita pun tahu bahwa kita tak akan disapa
siapa-siapa. kita juga ingat bahwa daun jati
dan wali lebih dulu menegaskan namanya
di sini, di setiap doa-doa yang sepi.

akhirnya mereka pun saling menimpal
ucapannya sendiri, pada dirinya sendiri;
barangkali di waktu-waktu kemudian
akan datang kepada kita serupa penyesalan.
sebagaimana kita lupa betapa berartinya
perkenalan, percakapan, pertemuan
dan perpisahan yang telah kita lupakan.
begitupun tentang bagaimana Caruban ini,
yang sedikit demi sedikit telah pula
kita lupakan.

nayaga terus memainkan temponya
Caruban melaju menuju nasibnya
dan sepasang mata yang satunya
untuk tidak terus menyesalinya
telah melupakan pasang mata lainnya
tapi tidak dalam sajaknya.



2013-2014


1Caruban: Asal mula nama Cirebon, sebuah daerah di pesisir utara Jawa Barat. Diambil dari penamaan dalam naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari” yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon.

2Lie Ong Tien: Putri China yang menjadi istri Sunan Gunung Jati.

3Hong Gie: Ayah dari Lie Ong Tien. Kaisar China di masa Dinasti Ming.

4Nayaga: Istilah Sunda dan Cirebon yang berarti orang atau sekelompok orang yang mempunyai keahlian memainkan alat musik gamelan.

5Elang: Nama gelar bangsawan Kesultanan Cirebon.


6Dangdanggula: Puisi lisan Cirebon yang menceritakan bagian pertama Babad (asal mula) Cirebon. Biasanya dinyanyikan dalam acara-acara tertentu dengan diiringi gamelan yang dimainkan nayaga.


*Termuat dalam Antologi "Fragmen Perjamuan" (Asas UPI. Bandung. 2014)

Jumat, 07 Februari 2014

Esai "Yang Tidak Sia-sia dari Sastra"

Yang Tidak Sia-sia dari Sastra

Oleh: Arinda Risa Kamal*


Politisi bisa saja menganggap sastra sebagai igauan belaka. Pengusaha, PNS, pegawai bank, petani, penambak udang, pedagang, buruh, pengangguran atau apresiator lain boleh juga menilai sastra sebagai keindahan hayalan saja. Meskipun akademisi dan praktisi sastra begitu teguh menganggap sastra sebagai obat, estetik bahasa, pemikiran, sari pati kehidupan, atau bahkan profesi, tapi siapapun tetap boleh berpikir apa saja tentang sastra. Ya, mengapa tidak? Bukankah hari ini sastra memang telah menjadi sesuatu yang semu dan ambigu?

Meskipun secara keilmuannya sastra telah mengukuhkan diri sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar definisi yang disepakati, tapi dalam kenyataan yang lainnya, sastra masih melulu diperdebatkan, terutama mengenai fungsi dan kesastraannya itu sendiri.

Semu dan ambigunya sastra kian kentara tatkala kita mulai bertanya sejauh manakah sastra mampu menopang kehidupan (di sekitar) kita? Seampuh apakah sastra mengatasi kejanggalan yang ada? Apakah sastra akan memakmurkan sebuah bangsa? Apakah yang disebut sastra? Atau, benarkah kita masih membutuhkan sastra?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya terasa menohok dan barangkali berlebihan. Tapi bagaimanapun sastra tidak akan pernah bisa kita hindarkan dari kehidupan. Sekalipun orang menganggap bahwa sastra adalah kesia-siaan−sebenarnya disadari ataupun tidak, pengakuan tersebut sekaligus pula telah mengakui keberadaan sastra bagi dirinya, meskipun sebatas sastra yang dangkal.

Sejak dahulu di tingkat Sekolah Menengah Pertama sastra telah diperkenalkan dan diajarkan kepada semua siswa. Begitupun di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tapi karena porsi, tujuan pembelajaran sastra rasa-rasanya tak ubahnya hanya sebatas pelajaran hafalan saja. Siswa hanya menghafal nama-nama sastrawan, analisis struktural, angkatan dan beberapa karya. Sedangkan karya-karya sastranya, luput dari pembacaan. Pengalaman bersastra inilah kiranya yang membuat sastra dan fungsinya terasa berjarak dengan kehidupan secara langsung.

Berkali-kali komunitas-komunitas sastra di hampir semua daerah mengadakan acara pembacaan karya sastra, diskusi dan sebagainya. Kegiatan semacam ini menjadi ruang pembelajaran sastra non formal. Namun kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah ruang yang benar-benar menjadikan apresiator mampu merasakan manfaat dan fungsi sastra secara mendalam.

Pada akhirnya kegiatan-kegiatan sastra dan barangkali sastra sendiri pun terkesan seperti euforia belaka. Perayaan, ya, seperti perayaan. Entah merayakan apa, barangkali benar merayakan sebuah keganjilan di tengah arus genapnya kehidupan yang mulai dipengaruhi banyak hal, terutama materiil.

Kita tidak akan pernah bisa mengerti seperti apa dan bagaimana sastra jika kita tidak pernah membacanya. Kita tidak akan merasakan apa-apa dari sastra tatkala kita hanya melihat sastra dari luar saja, dari acara-acara komunitas sastra saja. Kita pun akan merasa muak dengan sastra jika sastra yang kita baca adalah karya yang bukan sastrawi. Kita tidak akan mengerti mengapa novel-novel Pramoedya Ananta Toer diberangus penguasa orde baru jika kita tidak membacanya. Kita tidak akan paham mengapa puisi-puisi Wiji Thukul dan W.S. Rendra di masa menyambut reformasi dilarang untuk dibacakan di ruang publik jika kita tidak pernah mengetahui puisi-puisinya.

Sastra sebagai salah satu karya seni berfungsi menjadi media hiburan sekaligus media pembelajaran, atau dalam istilah Horatius yang seorang filsuf adalah dulce et utile. Tapi bagaimana kita bisa mengalami diri terhibur dan tercerahkan karena sastra jika kita tidak pernah membaca karya-karya sastra? Bagaimana kita bisa mengalami fungsi estetis, fungsi etis, fungsi didaktis dan fungsi reflektif dari sastra jika membaca yang benar-benar karya sastranya pun tidak?

Seorang sahabat Rasul pernah mengungkapkan, “Ajarkanlah sastra, agar ia menjadi seorang pemberani.” Sastra memang bukan hanya satu-satunya yang menjadikan seseorang pemberani. Tapi pendapat tersebut berdasar bahwa sastra akan lebih jauh dari itu. Sastra bisa membuat seseorang mengerti, berpikir dan menemukan ideologi. Seperti yang disepakati, bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu membuat pembacanya berpikir lebih mendalam karena isi sastrawinya.

Membaca karya sastra memang tidak akan membuat kita kaya raya, naik jabatan atau mengentaskan pengangguran. Tapi dengan membaca karya sastra yang baik, kita akan terus didorong untuk memahami dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun begitu, sastra selama tidak dibaca adalah benar sia-sia semata.

Dikarenakan hari ini karya sastra pop cenderung lebih banyak dan mudah ditemui daripada karya sastrawi, maka tentu, apresiator sastra yang baik adalah mereka yang selain membaca karya-karya sastra pop, juga membaca karya-karya sastrawi yang mampu memberikan banyak inspirasi.

Jika hari ini kehidupan telah membuat kita luput dari sastra, maka kita patut merenungkan apa yang diungkapkan Octavio Paz, seorang peraih penghargaan Nobel Sastra di tahun 1990. “Masyarakat yang meninggalkan puisi (sastra) adalah masyarakat yang tengah melakukan bunuh diri spiritual secara masal.” Jikapun hari ini kita terus merasa ragu atau bahkan antipati terhadap sastra, jangan-jangan selama ini kita telah salah membaca, dan itu artinya kita harus lebih banyak lagi membaca karya-karya sastra!(*)








*Arinda Risa Kamal, lulusan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
)*dok media