Yang Tidak Sia-sia dari Sastra
Oleh: Arinda Risa Kamal*
Politisi
bisa saja menganggap sastra sebagai igauan belaka. Pengusaha, PNS,
pegawai bank, petani, penambak udang, pedagang, buruh, pengangguran atau
apresiator lain boleh juga menilai sastra sebagai keindahan hayalan
saja. Meskipun akademisi dan praktisi sastra begitu teguh menganggap
sastra sebagai obat, estetik bahasa, pemikiran, sari pati kehidupan, atau
bahkan profesi, tapi siapapun tetap boleh berpikir apa saja tentang
sastra. Ya, mengapa tidak? Bukankah hari ini sastra memang telah menjadi
sesuatu yang semu dan ambigu?
Meskipun secara
keilmuannya sastra telah mengukuhkan diri sebagai suatu hal yang lebih
dari sekedar definisi yang disepakati, tapi dalam kenyataan yang
lainnya, sastra masih melulu diperdebatkan, terutama mengenai fungsi dan
kesastraannya itu sendiri.
Semu dan ambigunya sastra
kian kentara tatkala kita mulai bertanya sejauh manakah sastra mampu
menopang kehidupan (di sekitar) kita? Seampuh apakah sastra mengatasi
kejanggalan yang ada? Apakah sastra akan memakmurkan sebuah bangsa?
Apakah yang disebut sastra? Atau, benarkah kita masih membutuhkan
sastra?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya terasa
menohok dan barangkali berlebihan. Tapi bagaimanapun sastra tidak akan
pernah bisa kita hindarkan dari kehidupan. Sekalipun orang menganggap
bahwa sastra adalah kesia-siaan−sebenarnya disadari ataupun tidak,
pengakuan tersebut sekaligus pula telah mengakui keberadaan sastra bagi
dirinya, meskipun sebatas sastra yang dangkal.
Sejak
dahulu di tingkat Sekolah Menengah Pertama sastra telah diperkenalkan
dan diajarkan kepada semua siswa. Begitupun di tingkat Sekolah Menengah
Atas. Tapi karena porsi, tujuan pembelajaran sastra rasa-rasanya tak
ubahnya hanya sebatas pelajaran hafalan saja. Siswa hanya menghafal
nama-nama sastrawan, analisis struktural, angkatan dan beberapa karya.
Sedangkan karya-karya sastranya, luput dari pembacaan. Pengalaman
bersastra inilah kiranya yang membuat sastra dan fungsinya terasa
berjarak dengan kehidupan secara langsung.
Berkali-kali
komunitas-komunitas sastra di hampir semua daerah mengadakan acara
pembacaan karya sastra, diskusi dan sebagainya. Kegiatan semacam ini
menjadi ruang pembelajaran sastra non formal. Namun
kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah ruang yang benar-benar menjadikan
apresiator mampu merasakan manfaat dan fungsi sastra secara mendalam.
Pada
akhirnya kegiatan-kegiatan sastra dan barangkali sastra sendiri pun
terkesan seperti euforia belaka. Perayaan, ya, seperti perayaan. Entah
merayakan apa, barangkali benar merayakan sebuah keganjilan di tengah
arus genapnya kehidupan yang mulai dipengaruhi banyak hal, terutama
materiil.
Kita tidak akan pernah bisa mengerti seperti
apa dan bagaimana sastra jika kita tidak pernah membacanya. Kita tidak
akan merasakan apa-apa dari sastra tatkala kita hanya melihat sastra
dari luar saja, dari acara-acara komunitas sastra saja. Kita pun akan
merasa muak dengan sastra jika sastra yang kita baca adalah karya yang
bukan sastrawi. Kita tidak akan mengerti mengapa novel-novel Pramoedya
Ananta Toer diberangus penguasa orde baru jika kita tidak membacanya.
Kita tidak akan paham mengapa puisi-puisi Wiji Thukul dan W.S. Rendra di
masa menyambut reformasi dilarang untuk dibacakan di ruang publik jika
kita tidak pernah mengetahui puisi-puisinya.
Sastra
sebagai salah satu karya seni berfungsi menjadi media hiburan sekaligus
media pembelajaran, atau dalam istilah Horatius yang seorang filsuf
adalah dulce et utile. Tapi bagaimana kita bisa mengalami diri
terhibur dan tercerahkan karena sastra jika kita tidak pernah membaca
karya-karya sastra? Bagaimana kita bisa mengalami fungsi estetis, fungsi
etis, fungsi didaktis dan fungsi reflektif dari sastra jika membaca
yang benar-benar karya sastranya pun tidak?
Seorang
sahabat Rasul pernah mengungkapkan, “Ajarkanlah sastra, agar ia menjadi
seorang pemberani.” Sastra memang bukan hanya satu-satunya yang
menjadikan seseorang pemberani. Tapi pendapat tersebut berdasar bahwa
sastra akan lebih jauh dari itu. Sastra bisa membuat seseorang mengerti,
berpikir dan menemukan ideologi. Seperti yang disepakati, bahwa karya
sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu membuat pembacanya
berpikir lebih mendalam karena isi sastrawinya.
Membaca
karya sastra memang tidak akan membuat kita kaya raya, naik jabatan
atau mengentaskan pengangguran. Tapi dengan membaca karya sastra yang
baik, kita akan terus didorong untuk memahami dan menjalani kehidupan
yang lebih baik. Namun begitu, sastra selama tidak dibaca adalah benar
sia-sia semata.
Dikarenakan hari ini karya sastra pop
cenderung lebih banyak dan mudah ditemui daripada karya sastrawi, maka
tentu, apresiator sastra yang baik adalah mereka yang selain membaca
karya-karya sastra pop, juga membaca karya-karya sastrawi yang mampu
memberikan banyak inspirasi.
Jika hari ini kehidupan
telah membuat kita luput dari sastra, maka kita patut merenungkan apa
yang diungkapkan Octavio Paz, seorang peraih penghargaan Nobel Sastra di
tahun 1990. “Masyarakat yang meninggalkan puisi (sastra) adalah
masyarakat yang tengah melakukan bunuh diri spiritual secara masal.”
Jikapun hari ini kita terus merasa ragu atau bahkan antipati terhadap
sastra, jangan-jangan selama ini kita telah salah membaca, dan itu
artinya kita harus lebih banyak lagi membaca karya-karya sastra!(*)
*Arinda Risa Kamal, lulusan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
)*dok media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar