Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Minggu, 24 Maret 2013

Esai tentang Puisi di Sebuah Program Studi

Sebuah Catatan dari Puisi Nisa Amalia
oleh, Arinda Risa Kamal*

            Belum lama rasanya saya mengenal Nisa Amalia, seorang perempuan yang memilih menjadi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Waktu itu kami sama-sama memulai untuk menjadi pengurus di salah satu organisasi internal jurusan di kampus. Saya sempat mendengar bahwa ia seorang anak yang cerdas. Ya, saya percaya. Sebab paling tidak, nilai IPK-nya menunjukan di atas tiga koma lima. Sekarang ia duduk di semester empat, dua semester di bawah saya.

            Sebagai civitas academica yang berkutat dalam bahasa dan sastra Indonesia, puisi tentunya menjadi salah satu bagian dari berbagai hal yang kami kenali dan pelajari. Saya tahu bahwa semua mahasiswa satu jurusan pernah menulis puisi, karena menulis puisi memang diwajibkan dalam beberapa mata kuliah. Tetapi saya tidak pernah benar-benar merasa yakin bahwa mereka menulis puisi berdasar keterpanggilan yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri (meskipun saya sendiri sebenarnya belum merasa yakin apakah saya sudah menulis puisi berdasar keterpanggilan diri sendiri atau belum). Itu semua paling tidak bertitik tolak dari penilaian saya yang hanya melihat sepinya mading kampus, buletin internal kampus, atau media masa lokal di Tasikmalaya yang sama-sama sepi dari puisi teman-teman mahasiswa satu jurusan. Padahal beberapa waktu lalu, saya merasa bahagia bisa membaca puisinya Tri Wahyuni, Shinta Rosiana, Eva Nurhayati Asih, Deska Pratiwi, Feysur Bashit, Ricky Komara Putra, dan Beni Setiawan (ini hanya sederet nama yang puisinya pernah saya baca di media masa, mudah-mudahan masih banyak nama lain yang puisinya tidak terbaca oleh saya).

            Ketika pertama kali Nisa Amalia memperlihatkan puisinya kepada saya, saya merasa bahagia, terkejut, sekaligus teringat pada nama-nama perempuan yang puisinya pernah terbaca di media masa. Meskipun sebenarnya saya membaca puisi Tri Wahyuni, Shinta Rosiana, Eva Nurhayati Asih dan Deska Pratiwi hanya satu kali saja di media masa, tetapi saya merasa bahwa puisi-puisi mereka sendiri telah membuat saya yakin akan bakat puitik yang mereka miliki.

             Keteringatan saya akan puisi yang pernah ditulis teman-teman perempuan, disebabkan kerinduan saya akan puisi-puisi mereka. Karena selama ini, meskipun puisinya tergolong langka muncul di media masa, teman laki-laki yang selama ini memiliki ketertarikan dalam puisi, sering memperlihatkan bahkan membahas puisi mereka secara bersama-sama. Baik itu ketika perkuliahan berlangsung, atau ketika menikmati kopi di kamar kontrakan. Komunikasi yang terus dijalin teman laki-laki kadang-kadang membuat saya berpikir apakah hal serupa juga terjadi di kalangan perempuan, baik itu sekedar silaturahmi, diskusi, menonton film bersama, atau bahkan saling meminjam buku bacaan.

            Dari sekian banyak puisi yang pernah diperlihatkan Nisa (nama panggilan Nisa Amalia), beberapa puisi sudah mulai menunjukan usaha yang serius dari Nisa ketika menulis puisi. Meskipun dalam beberapa aspek masih terasa adanya kekakuan daya ungkap dalam mimilih metafor/idiom sebagai media puitiknya. Semua puisi Nisa yang saya baca ditulis di tahun 2011. Itu artinya selama ini Nisa kerap menulis puisi secara diam-diam. Puisi yang selama ini ditulis hanya disimpan di laci meja, dan baru beberapa bulan inilah Nisa mulai berani untuk memublikasikan puisinya di mading dan buletin kampus. Dengan kejujurannya ia mengatakan kepada saya bahwa selama ini ia memang menyukai puisi. Ia mulai membaca dan menulis puisi sejak beberapa tahun lalu, tetapi karena kebingungannya dalam hal mengomunikasikan karya, akhirnya ia memilih untuk menyimpan puisinya di laci meja belajar saja.

            Kejadian tersebut sedikit berbeda dengan teman laki-laki yang selama ini menyukai puisi, mereka kerap mengomunikasikan karyanya di antara teman laki-laki lainnya. Gairah kepenulisan yang terlihat tersekat gender tersebut kiranya memang beralasan, selain masih adanya unsur kerikuhan di antara laki-laki dan perempuan, komunikasi yang kurang baik di kalangan perempuan pun menjadi salah satu alasan lainnya. Sebab selama ini, Nisa selalu mengeluh pada saya, bahwa ia berharap kakak tingkat atau teman perempuan sejawatnya bisa melakukan kegiatan diskusi seperti halnya teman laki-laki.

***
RAPUH

Begitu cepat siang berganti malam
Meredupkan cahaya dalam kesunyian
Melangkahkan beban dalam asa, lalu tiada
Haruskah kupudarkan bahagia dan derita

Nafasku telah sesak termakan senja
Tapi belaian rasa tak pernah berbuah cinta
Hanya luka yang bergelimang
Dalam nada, dalam dada yang terluka

Kini tak ada suara lagi, tak ada apa-apa lagi
Bosan, benci, kecewa tiada henti
Hati pun tandus, termakan nasibnya sendiri

2011

                Secara keseluruhan puisi berjudul “Rapuh” yang ditulis Nisa berbicara tentang kekecewaan, keputusasaan, pesimis dan semacamnya. Dengan kelugasannya, Nisa mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa terlepas dari kebahagiaan dan penderitaan.

            Di bait pertama, secara sadar ia mengungkapakan bahwa sebenarnya waktu melesat dengan cepat dan begitu saja. Waktu sendiri pulalah yang membuatnya terus menjalani beban kehidupan dan harapan, sedang sebenarnya ia tahu bahwa kelak semuanya tiada (menemu takdir yang dipercayai sebagai sebuah akhir dari segalanya). Saat-saat seperti itu, ia kembali menegaskan bahwa sebenarnya kebahagiaan dan penderitaan adalah sesuatu yang samar dan sia-sia.

            Bait kedua dan ketiga lebih mempertegas kekecewaan dan keputusasaannya, secara pesimis ia mengakhiri puisinya dengan ungkapan bahwa sebenarnya takdir tidak dapat dipungkiri, seberapapun besar harapan dan usaha yang dilakukan.

            Meskipun pada dasarnya puisi ini mengarah pada kisah cinta yang membuatnya putus asa, tetapi melalui pendalamannya, Nisa mengungkapkan bahwa cinta yang dimaksudkannya masih memiliki kemungkinan lain, bisa cinta pada pada kekasih, orang tua, orang tersayang, atau bahkan tuhan. Ini kemungkinan disebabkan persepsinya akan kesemerawutan kehidupan yang dialami dan dilihatnya.

BERHENTI

Biarkan aku berlalu
Menjamah malam dalam sendu

Aku terpaku
Dalam senyummu
Yang memilukan hati
Pergi. Kembali. Pergi

Sementara kita hanya bosan
Sendiri, dan fana

2011

            Puisi kedua dengan judul “Berhenti” hampir memiliki nafas yang sama dengan puisi pertama, tentang kekecewaan. Puisi ini lebih terlihat sublimasinya terhadap cinta-kasih sepasang manusia. Ia mengungkapkan bahwa kejemuan pada dasarnya akan mendorong pemberontakan, seperti yang dipertegasnya pada bait pertama. Ketegasan itu terasa dengan gaya kepenulisan yang dicetak miring. Sedang pada kedua bait lainnya, ia menegaskan ihwal kekecewaan dan kesadarannya akan sesuatu yang dianggapnya fana. “Pergi. Kembali. Pergi” ungkapnya.

            Bagi saya, dua puisi Nisa di atas cukup membuat saya yakin akan keseriusannya ketika mengolah perasaan sebagai tema dengan menggunakan bahasa sebagai medium ungkapan puitiknya. Meskipun di beberapa bagian masih terasa ada beberapa hal yang masih harus digulatinya. Seperti diksi, metafor/idiom dan semacamnya. Selain itu, Nisa masih begitu betah dengan kejelasan pengungkapan, atau terlihat seperti terjebak idiom yang mendayu-dayu dan banyak bertebaran dalam ungkapan-ungkapan yang kesannya ‘seperti’ picisan.

            Tetapi saya yakin, jika Nisa memiliki minat serius dalam menulis puisi, itu bukan persoalan selagi ia mau menggauli puisi seperti menggauli dirinya sendiri. Ia akan menemukan dan mengerti seiring keseriusannya itu sendiri, seiring bacaannya itu sendiri. Sebab menulis puisi, tidak hanya cukup bermodal intuisi.
    
     Dari banyaknya puisi yang diperlihatkan Nisa, bagi saya dua puisi di ataslah yang menarik untuk diapresiasi, tetapi hal tersebut bukan berarti puisi yang lain tidak menarik untuk diapresiasi. Ini lebih disebabkan supaya saya terfokus untuk mengapresiasi, sebab bagi saya, untuk mengapresiasi satu puisi saja rasanya membutuhkan stamina yang besar dan serius.

     Untuk selanjutnya, selain terus membaca dan menulis puisi, mudah-mudahan Nisa mulai menyadari dan melupakan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti: Mengapa harus puisi yang saya tulis? Siapakah yang masih membutuhkan puisi? Apakah puisi dapat membuat nilai saya menjadi A? Apakah puisi dapat membuat saya menerima beasiswa? Apakah puisi dapat membuat saya terkenal? Berapa banyak puisi yang harus saya tulis untuk membiayai kehidupan saya selama satu bulan?  Apakah puisi mampu membuat saya menjadi kaya? Serta pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya.

***
            Selama ini, geliat kepenulisan di lingkungan program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia tidak bisa terlepas dari peranan Bode Riswandi, salah satu dosen yang juga penyair dengan pengalaman dan pengetahuan sastra yang luas. Dedikasinya dalam menyambut dan memberikan dorongan bagi geliat kepenulisan begitu terbuka. Kerap kali, ia bersedia memfasilitasi bacaan bagi mahasiswanya, dan itu sangat membantu para mahasiswa yang masih merasa membutuhkan bacaan, atau mengobati ketidakpuasan mahasiswa akan koleksi buku perpustakaan (perpustakaan kampus ataupun daerah) yang hanya menyediakan buku itu-itu saja.

             Meskipun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa program sudi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang masih memiliki minat baca. Hal tersebut kadang-kadang membuat saya berpikir, berapa persenkah teman-teman satu jurusan yang mencintai bahasa dan sastra Indonesia? Apakah ini yang menjadi dasar pemikiran para kritikus sastra yang mengungkapkan bahwa sastra di kalangan akademisi hanya sebatas euforia saja? Padahal nantinya, ketika memiliki nasib menjadi seorang tenaga pengajar, sastra dan bahasa adalah hal mutlak yang akan diajarkan terhadap anak didiknya.

            Kenyataan lain bahwa teman-teman satu jurusan justru malah menggemari karya sastra ‘picisan’ dengan label-label best seller. Mereka lebih mengenal karya sastra seperti itu dibandingkan dengan karya-karya sastra karangan Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Putu wijaya, Seno Gumira Ajidarma,  Ahmad Tohari, serta nama-nama besar lainnya.

            Mudah-mudahan, Nisa Amalia adalah salah satu kalangan akademisi yang akan menjadi jembatan bagi bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, mudah-mudahan kelak Nisa mampu belajar seperti penyair perempuan Tasikmalaya lainnya, semisal Anggie Sri Wilujeng, Nina Minareli, Ratna Ayu Budiarti, Ria Arista Budiarti, Qeis Surya Sangkala, atau Afrilia Utami. Mereka adalah sederet nama perempuan yang memiliki kepedulian dan mental yang baik terhadap puisi. Sebab, Nisa, seperti yang pernah saya ungkapkan, “puisi selalu memberikan kebahagiaan yang tidak bisa saya dapati dari hal lainnya, tidak dari nilai A, tidak dari beasiswa, tidak dari nominal angka-angka, tidak dari sebatas pengakuan belaka”. Maka, Nisa, kita tidak perlu heran dan kecewa jika selama ini banyak orang-orang yang beruntung karena puisi. Sebab penyair ataupun mahasiswa, Nisa, memiliki keberuntungan dan kesialannya masing-masing.

            Dalam salah satu tulisannya, Saini K. M. pernah mengungkapkan, “dalam dunia kepenyairan sering terjadi ironi. Justru yang menghindarkan diri dari tantangan hakiki kepenyairan sering lebih dikenal masyarakat sebagai ‘penyair’. Mereka lebih terkenal bukan karena karya-karyanya, melainkan karena kegiatan-kegiatan di ‘wilayah pinggiran’ kepenyairan. Sementara itu, penyair yang sesungguhnya, yang bekerja dengan tabah seorang diri serta boleh jadi menghasilkan sedikit karya bermutu karena banyak membuang karya-karyanya yang gagal, terdesak ke luar perhatian pembaca dan masyarakat”. (*)





*Arinda Risa Kamal, mahasiswa program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya yang masih meyakini bahwa puisi tidak kalah penting dari skripsi.


Radar Tasikmalaya, 24 Juni 2012.

Senin, 11 Maret 2013

Potret Diri (Mengenang Hidup yang Dilahirkan)

Nyanyian Senandika
di Dua Puluh September


setelah kelahiran, ari-ari dikubur
bersama doa-doa dan harapan.

tanah mana yang dapat
menumbuhsuburkan riwayat,
menafsir nasib, atau menjanjikan
sesuatu yang kekal.

ketika dua puluh matahari terakhir
disemai di kedalaman raga yang tak juga
menjamin apa-apa, dari mata seorang ibu,
aku pergi menyusuri september yang melepuh.
cahayanya mengaburkan apa yang menjadi
pandangan, dan apa yang mesti dilakukan.

sementara itu berkali-kali
aku teringat kematian,
jampi-jampi dan tuhan.
sekejap kemudian, tiba-tiba
aku merasa kembali dilahirkan.
dari surga, dari neraka.

dari rahim ibu yang baka.

tapi demi kita yang tak kekal,
hari ini aku masih mencoba
untuk menghapal peristiwa,
nama-nama, dan yang lekat dengan usia.
menyimpan dan melupakan. mengerang,
menerjang kepedihan dan kebahagiaan,
dari segala sunyi, segala yang kerap ramai.

wahai ibu, bapak,
derita dunia yang durjana.
pada hari inilah kelahiran
sekaligus kematian
selalu bersenggama di kepalaku,
mengumbar nafsu,
lalu mengandung kembali
kehidupan yang baru.

meski sungguh, ibu, bapak.
bukan hendakku menjadi pengembara,
pemuja segala nestapa, sebab kini
musim penghujan, basah dedaunan,
atau nama lain dari kegembiraan
yang kusayangi itu, tiba-tiba asing,
serupa hari-hari yang dingin,
bahkan sampai di balik dada pun,
usia masih menjelma pergolakan panjang.

sebagai riwayat yang dituliskan,
dan hidup yang selalu dipertanyakan.




2011-2012

Sabtu, 09 Maret 2013

Lirik Lagu Barisan Nisan - Homicide


Barisan Nisan - Homicide



Matahari terlalu pagi mengkhianati. Pena terlalu cepat terbakar.

kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin tanpa darah mereka mengering sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi.

Sebelum semua paru disesaki tragedi dan pengulangan menemukan maknanya sendiri dalam pasar dan semerbak deodoran. Atau Mungkin dalam limbah dan kotoran atau mungkin dalam seragam sederetan nisan. Atau mungkin dalam pembebasan ala monitor empat belas inci yang menawarkan hasrat pembangkangan ala Levi's dan Nokia atau dalam enam ratus enam puluh enam halaman hikayat para bigot dan despot yang menari ketika jelaga Azaghtot berangsur menjadi kepulan pitam berselubung Michael Jordan dipojokan pabrik-pabrik makloon para produsen kerak neraka berlapis statistik, pembenaran teatrikal supermall dan opera sabun panitia penyusun undang-undang pemilu yang mencoba membanyol tentang kekonyolan demokrasi, yang rapih berdasi menopengi mutilasi pembebasan dengan sengkarut argumen basi tentang bagaimana menyamankan posisi pembiasaan diri di hadapan seonggok tinja para sosok pembaharu dunia bernama pasar bebas dan perdagangan yang adil, untuk kemudian memperlakukan hidup seperti Akabri dan dikebiri matahari yang terlalu pagi mengkhianati.

Dan heroisme berganti nama menjadi C-4, Sukhoi dan fiksi berpagar konstitusi. Menjenguk setiap pesakitan dengan upeti bunga pusara dari makam pahlawan tetangga bernama Arjuna dan manusia laba-laba, pahlawan dari Cobain hingga Vicious, dari berhala hingga anonimus bernama burung garuda Pancasila yang menampakkan diri pada hari setiap situs menjadi sepejal bebatuan yang melayang pada poros yang sejajar dengan tameng dan pelindung wajah para penjaga makam Fir'aun ber-khakhis yang muncul dua puluh empat jam matahari dan gulita bertukar posisi disetiap pojokan, bahkan di kakus umum dan selokan, mencari target konsumen dan homogenisasi kelayakan.

Maka, setiap angka menjadi 'maka' dan 'makna', ketika kita disuguhi setiap statistik dan moncong senjata dengan ribuan unit SSK untuk menjaga stabilitas, stabilitas bagi mereka yang akan dinetralisir karena menolak membuang buku Pantone sebagai panduan kebenaran sejak hitam dan putih hanya berlaku di hadapan mata sinar Xerox. Menolak terasuki setan dan tuhan yang mewujud dalam ocehan pencerahan kanon-kanon tumpukan Big Mac dan es krim Cone yang berseru;

"Beli...beli...beli..., konsumsi..., konsumsi kami, sehingga kalian dapat berpartisipasi dalam usaha para anak negeri yang berjibaku untuk naik haji !!!"

Oh, betapa menariknya dunia yang sudah pasti, menjamin semua nyawa dan pluralitas dengan lembaran kontrak asuransi, dengan dengan janji pahala bertubi, dengan janji akumulasi nilai lebih, bursa saham, dan dengan semantik-semantik kekuasaan yang hanya berarti dalam kala ketika periode berkala para representatif di gedung parlemen memulai tawar-menawar jatah kursi dan kekuatan hanya berlaku pasca konsumsi cairan suplemen tonik dan para bigot bertemu kawanan dan cinta hanya akan berlabuh setelah melewati sederetan birokrasi ideologi berwarna merah, hijau, hitam, kuning dan biru, merah, putih dan biru, dan merah dan putih.

Oh, betapa indahnya dunia yang berkalang fajar poin-poin NAFTA sehingga pion-pion negara yang berkubang dibelakang pembenaran stabilisasi nasional menemukan pembenaran evolusi mereka dengan berpetangkan saluran-saluran pencerahan para rockstar yang lelah berkeluh kesah kala peluh mengering kasat di hadapan pasanggiri lalat-lalat pasar dan kilauan refleksi etalase dan display berhala-berhala, berskala lebih thakut dari ampas neraka di antara robekan surat rekomendasi para negara donor perancang undang-undang dan fakta-fakta anti-terror, para arsitek bahasa penaklukan, para pengagung kebebasan, kebebasan yang hanya berlaku di hadapan layar Flatron, kemajukan ponsel, demokrasi kotak suara dan pluralisme di gedung rubuh,

Oh, betapa agungnya dunia di hadapan barisan nisan yang dikebiri matahari dan terlalu pagi mengkhianati.

Maka, jangan izinkan aku untuk mati terlalu dini, wahai rotasi CD dan seperangkat boombox ringkih. jangan izinkan aku mendisiplinkan diri ke dalam barisan, wahai tentara celuloid dan narasi. Dan demi perpanjangan tangan remah di mulutmu, anakku, jangan izinkan aku terlelap menjagai setiap sisa pembuluh hasrat yang kumiliki hari ini. Demi setiap huruf pada setiap fabel yang kututurkan padamu sebelum tidur, zahraku, mentariku, jangan sedetikpun izinkan aku berhenti menziarahi setiap makam tanpa pedang-pedang kalam terhunus, lelap tertidur tanpa satu mata membuka, tanpa pagi berhenti mensponsori keheningan berbisa, tanpa dilengan kanan-kiriku adalah matahari dan rembulan, bintang dan sabit, palu dan arit, bumi dan langit, lautan dan parit, dan sayap dan rakit hingga seluruh paruku sesak merakit setiap pasak-pasak kemungkinan terbesar, memperbesar setiap kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin tanpa darah mereka mengering sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi.

Matahari tak mungkin lagi mengebiri pagi untuk mengkhianati




Kamis, 07 Maret 2013

Dua Puisi Arinda Risa Kamal (dokumentasi media cetak)


Sore Hari di Sebuah Kota


sore itu,
ketika langit tengah memendam
kemarahan bumi, aku melihat
seisi kota seperti kekalahanku sendiri.

lampu-lampu menyala begitu sedih,
sedang seseorang dengan mata sayu
dan bibir tipis yang kemerahan, masih
saja iseng sendiri dengan nyanyiannya
yang murung, yang kesepian di tengah
ramai arus pilkada, pemilu yang entah
akan menguntungkan siapa.

suara kecilnya yang berat membentur
spanduk-spanduk dan label toko asing,
mengekalkan sajaknya pada botol cola,
nokia, serta layar datar di plaza-plaza.

dari lehernya yang lurus dan ditumbuhi
bulu-bulu yang juga halus, aku mencium
bau anak-anak lapar, pengangguran,
serta ledakan amarah para demonstran
yang kerap turun persis di dalam pikiran
dan dadaku yang tengah terhimpit
nominal harga-harga.

biar.
biarlah langit sore ini terus saja mendung,
biarlah aku terus merasa dingin,
sendirian dan sangsi akan keriangan.
sebab seperti juga engkau, aku masih
menunggu malam, menunggui hujan
yang membasuh seluruh isi kota,
segenap dada yang berduka.

wahai perempuan yang di lehernya
tertanam seribu tiga ratus lima puluh tujuh
wewangian, tulislah ihwal perjuangan
dan kesia-siaan yang menapaki dirinya
di atas perasaan-perasaan janggal.
lantas jika memang di kemudian hari
bulan tertulis atas nama matahari,
gegas karamkanlah segala dukaku,
segala keriangan yang terus tumbuh
di kotaku; tiga ciuman saja,
di bawah leher kananmu itu.




2012







Mata dalam Kaca


hanyalah mata yang selama ini
menahan tatap pada bayang kaca.
kemudian selalu ada dorongan
di kedua tangan kita yang tiba-tiba
merapikan rambut, atau apa saja
yang bisa dirapikan. kadang ia
menambah warna, bau berbagai
nama, tuhan pada harga celana,
surga di lipatan kemeja.

mata itu pula yang mengingat jelas
siapa kita dalam bayangan, pantulan
cahaya dari sebuah kaca yang enggan
disalahkan, ataupun dibenarkan.
barangkali hanya semacam keinginan,
kesedihan dan kenyataan yang
terlanjur mengelak dari kenyataan,
untuk tidak menjadi siapa-siapa, dan
sama halnya dengan tidak menjadi
apa-apa. dan betapa sia-sia semuanya.

di hadapan sebuah kaca
yang menyimpan cahaya, kutatap kita
dengan mata yang bertanya-tanya.

siapa mata kita. dan mana kepala
yang selama ini menopang nama-nama.

hanyalah dada, yang selama ini kita lipat
untuk tidak memberi jawaban apa-apa.

dan demi mata dalam kaca, kembalikanlah
bayangan kami dari tubuhnya, dari tatap
matanya, dari dada dan sajak-sajak
yang telah kehilangan penulisnya.

sekalipun sia-sia,

dan tak menjawab apa-apa.



2013



Kabar Priangan, 6 Maret 2013

Pemebelajaran Puisi (Mengakrabi Kata-kata - Sarabunis Mubarok)


MENGAKRABI KATA-KATA
Oleh, Sarabunis Mubarok

/1.

Apa itu sajak atau puisi? Dari begitu banyak orang menerangkan sajak atau puisi --mulai yang paling sederhana sampai yang paling rumit-- kiranya yang paling menarik adalah apa yang disampaikan oleh Sutardji Calzoum Bachri: “Niatmu adalah sajakmu. Apapun yang kau niatkan sajak, itulah sajakmu.”

Pengertian ini,  bisa didedahkan untuk membuka sebuah optimisme akan kegairahan menulis dan mengapresiasi puisi, sesuatu yang selama ini sering dianggap sebagai hal yang pekat dan sulit dijangkau masyarakat.

Bahwa niat penyair sangat penting bagi puisi, nafas intuisi yang akan
membawa kata-kata pada kehidupan, menjemputnya, dan dengan sendirinya akan menyampaikan niatnya (niat kata) untuk sampai pada niat sang penyair. Untuk menuju puisi, kata-kata tidak hanya bergerak dalam tabiat dengan niatnya sendiri-sendiri, ia akan berkembang dengan menyusuri berbagai lembah dengan cara dan jalannya yang kreatif bersama peta dalam niat penyair.

Kata-kata akan menemukan kreatifitas, keindahan dan kecerdasannya dari berbagai alam yang ia masuki. Masa lalu dan masa kini, kesedihan dan kegembiraan, mimpi dan kenyataan, ketakutan dan keinginan, angan-angan dan masa depan, dan segala rasa yang menyertai tubuh daging manusia dalam kehidupan.

Dalam lorong kehidupan masa kini yang serba instan, kekuatan niat penyair menjadikan kata-kata tak boleh lagi hanya bergerak di jalur-jalur yang sudah usang, ia mempelajari dirinya sendiri dari sudut-sudut lain, lalu ia memilih jalur dengan teliti, menghirup aura-aura kegelisahan yang bertenaga, bergerak dalam kombinasi daya bunyi dan nilai rasa yang tak sekedar spontan, namun menjiwainya sebagai perpaduan dari makna dan nilai yang menyegarkan kehidupan. Lalu diam-diam kata-kata akan tumbuh sebagai puisi, kelahiran yang menyihir penyairnya sendiri.

Demikianlah, dalam kekuatan niat penyair, puisi terus terlahir. Di sini, kata-kata tak lagi berputar dalam lingkaran dirinya yang menjemukan. Seperti Chairil, kata-kata ingin hidup seribu tahun lagi, melewati berbagi zaman dengan tak sekedar mengikuti arus, tapi ia meneratas pembaruan dalam berbagai perubahan zaman. Arus pembaruan untuk menghindari jebakan-jebakan yang melulu menawarkan kepastian dan kesempurnaan, sementara sejatinya kepastian dan kesempurnaan adalah juga lingkaran yang menjemukan.

/2.

Seperti juga dorongan melepaskan nafsu sexsual atau libido, pengulangan yang konvensional akan sampai pada lingkaran yang menjemukan. Disinilah tubuh-jiwa perlu pelepasan dengan cara-cara lain yang tak sekedar berhubungan badan, atau berfantasi sexsual dengan gambar-gambar film biru. Sigmund Freud, dengan psikoanalisanya menemukan bahwa cara lain pelepasan tenaga libido adalah melalui kesenian.  Melalui puisi, si penyair menggunakan tenaga dalam dirinya untuk melepaskan diri dari berbagai hal kompleks. Dalam puisinya diletakkan kemauan-kemauan dan keinginan-keinginannya sendiri.

Dengan mengutip apa yang diungkapkan Freud, penulis tak hendak membahas pengaruh psikoanalisa dalam karya sastra. Yang hendak dikemukakan adalah bahwa memilih melepaskan lingkaran menjemukan melalui menulis puisi, akan menguatkan niat penyair. Kesungguhan niat ini akan melepaskan lingkaran menjemukan yang mengurung kata-kata, menuju puisi yang dibangun dari pemilihan kata yang kreatif untuk memperoleh kesegaran baru dalam puisi. Dan pada maqam ini, sang penyair pun akan disadarkan bahwa begitu banyak sampah yang telah ditulis, dan dibacakannya dalam riuh tepuk tangan para pemulungnya.

Bagaimana dengan orang yang baru akan menulis puisi Indonesia? Tentu syarat utamanya harus bisa berbahasa Indonesia. Lalu mulailah menulis. Lupakanlah keinginan untuk menjadi Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam noor, Godi Suwarna, atau para penyair manapun. Karena puisi akan menyerap sari kehidupan, dan kehidupan setiap orang berbeda-beda. Puisi menginginkan gairah-gairah baru untuk melepaskan dirinya dari kejemuan, seperti libido yang menginginkan pelepasan dengan proses kreatif yang penuh ketegangan namun sangat mengesankan.


/3.

“Aku tak bisa mengajarimu, dan tak mungkin bisa mengajarimu menulis puisi.”

“Lalu kepada siapa saya harus belajar menulis puisi?”

“Hidupmu adalah mata air puisimu, dan hanya kaulah yang bisa mengalirkannya ke sungai-sungai kegelisahan menuju muara puisimu.”

“Aku tak mengerti?”

“Ingatlah, bahwa kata-kata ada di mana-mana, ada sebelum engkau ada. Bisakah kau menghitung berapa banyak kata yang sedang bergerak saat ini? Pada detik ini saja semua manusia di seluruh dunia tengah mengucap kata, di hati dan pikiran, di mulut dan tulisan, di buku-buku, di ilmu pengetahuan, di televisi, di radio, telepon, komputer dan internet, di mana-mana. Satu detik berapa kata yang tengah bergerak? Bermilyar-milyar? Betapa riuhnya jika semua kata-kata itu dikumpulkan. Setiap detik kata-kata bergerak dalam lingkarannya yang begitu-begitu saja berulang-ulang.”

“Lalu bagaimana aku harus menulis?”

“Baiklah, saat ini berapa kata yang keluar masuk ke perpustakaan kehidupanmu? Berapa kata dari masa lalumu, berapa kata dari suka-dukamu, dari mimpi dan kenyataanmu, dari hati dan mulutmu, dari tangkapan mata dan telingamu, dari setiap detik denyut nadi, hingga kini, setelah lebih dari satu milyar detik usiamu. Berapa kata? Lalu mengapa kata-kata itu sulit sekali memasuki pintu-pintu puisimu? Ini karena kau membunuh niat penyairmu.”

“Tidak, kini aku berniat menulis puisi, lalu bagaimana dengan teori-teorinya?”

“Kata-kata adalah segala-galanya bagi puisi. Ia yang menyertai perjalanan kehidupanmu. Akrabilah ia, lalu tulislah! Tulislah apa yang paling dekat denganmu! Tulislah terus hingga menjelma puisi! Lalu bacalah! Kenalilah puisimu! Dan kenalilah teori-teori itu dari puisimu?”

/4.

Membicarakan teori puisi, tentu saja akan sangat panjang dan rumit. Ini bukan saja karena teori puisi yang terus berkembang, tapi juga penuh perdebatan seiring dengan saling berdebatnya pendekatan kritik yang satu dengan yang lainnya. Sementara puisi bukan sekedar kerja intelektual, tapi merupakan kerja seni yang memerlukan proses kreatif, sebuah kesungguh-sungguhan dalam mengakrabi kata-kata.

Untuk memulai menulis sebuah puisi, kita simpan dulu sejenak teori-teori. Sebagai kerja seni, puisi berangkat dari intuisi. Ia memasuki ruang-ruang imajinasi untuk mendedahkan pengalaman puitik sang penyair. Kata-kata tak hanya harus diserap dari sumur-sumur kehidupan, tetapi juga harus diakrabi dengan sabar dalam upaya membangkitkan kreativitas untuk melahirkan berbagai makna. Dengan mengakrabi kata-kata, ruang-ruang imajinasi akan menghembuskan berbagai gagasan kreatif, kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan dan nilai rasa.

Memasuki ruang imajinasi harus terbebas dari teori-teori. Pembebasan ini penting untuk mencongkel kreativitas dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan. Kata-kata diserap dan diakrabi dari segala sisi. Keinginan, ketakutan, kegembiraan, alam, mimpi, kegilaan, fantasi tak masuk akal, menjelma hewan, menjelma benda, melintasi ruang dan waktu. Dengan pengakraban seperti ini, akan menajamkan kepekaan penyair dalam menaklukkan kata-kata sehingga menjadi lebih lentur dan segar, tidak terbatas pada makna leksikon yang sudah umum.

Lalu bagaimana dengan teori? Tentu saja teori perlu dipahami dan dikuasai. Tapi teori tidak membentuk puisi dan puisi tidak dibentuk dari teori-teori. Puisilah yang membentuk teori-teori. Secara kreatif ia akan membentuk pararelitas atau benang merah dalam dirinya, mengalir ke dalam bentuk-bentuk tipografi, pemilihan diksi, metafor-metafor, irama, intonasi, enjambemen, repetisi dan berbagai perangkat stilistika lainnya seiring dengan mengalirnya berbagai gagasan, kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan, sugesti, sensitifitas dan nilai rasa yang mengandung kejujuran dan keindahan.

Jadi mulailah menulis puisi, mulailah mencari jalan sendiri! Seperti apa yang dikatakan Jakob Sumardjo, “Menulislah seperti berenang. Dalam berenang kita tak mengingat aturan atau teori dalam buku.”


***

Salam,
Sarabunis Mubarok___________ Singaparna


akun facebook Sarabunis Mubarok: http://www.facebook.com/sarabunis