MENGAKRABI KATA-KATA
Oleh,
Sarabunis Mubarok
/1.
Apa itu sajak
atau puisi? Dari begitu banyak orang menerangkan sajak atau puisi --mulai yang
paling sederhana sampai yang paling rumit-- kiranya yang paling menarik adalah
apa yang disampaikan oleh Sutardji Calzoum Bachri: “Niatmu adalah sajakmu.
Apapun yang kau niatkan sajak, itulah sajakmu.”
Pengertian
ini, bisa didedahkan untuk membuka sebuah optimisme akan kegairahan
menulis dan mengapresiasi puisi, sesuatu yang selama ini sering dianggap
sebagai hal yang pekat dan sulit dijangkau masyarakat.
Bahwa niat
penyair sangat penting bagi puisi, nafas intuisi yang akan
membawa kata-kata pada kehidupan, menjemputnya, dan dengan sendirinya akan menyampaikan niatnya (niat kata) untuk sampai pada niat sang penyair. Untuk menuju puisi, kata-kata tidak hanya bergerak dalam tabiat dengan niatnya sendiri-sendiri, ia akan berkembang dengan menyusuri berbagai lembah dengan cara dan jalannya yang kreatif bersama peta dalam niat penyair.
membawa kata-kata pada kehidupan, menjemputnya, dan dengan sendirinya akan menyampaikan niatnya (niat kata) untuk sampai pada niat sang penyair. Untuk menuju puisi, kata-kata tidak hanya bergerak dalam tabiat dengan niatnya sendiri-sendiri, ia akan berkembang dengan menyusuri berbagai lembah dengan cara dan jalannya yang kreatif bersama peta dalam niat penyair.
Kata-kata akan
menemukan kreatifitas, keindahan dan kecerdasannya dari berbagai alam yang ia
masuki. Masa lalu dan masa kini, kesedihan dan kegembiraan, mimpi dan
kenyataan, ketakutan dan keinginan, angan-angan dan masa depan, dan segala rasa
yang menyertai tubuh daging manusia dalam kehidupan.
Dalam lorong
kehidupan masa kini yang serba instan, kekuatan niat penyair menjadikan
kata-kata tak boleh lagi hanya bergerak di jalur-jalur yang sudah usang, ia
mempelajari dirinya sendiri dari sudut-sudut lain, lalu ia memilih jalur dengan
teliti, menghirup aura-aura kegelisahan yang bertenaga, bergerak dalam
kombinasi daya bunyi dan nilai rasa yang tak sekedar spontan, namun menjiwainya
sebagai perpaduan dari makna dan nilai yang menyegarkan kehidupan. Lalu
diam-diam kata-kata akan tumbuh sebagai puisi, kelahiran yang menyihir
penyairnya sendiri.
Demikianlah,
dalam kekuatan niat penyair, puisi terus terlahir. Di sini, kata-kata tak lagi
berputar dalam lingkaran dirinya yang menjemukan. Seperti Chairil, kata-kata
ingin hidup seribu tahun lagi, melewati berbagi zaman dengan tak sekedar
mengikuti arus, tapi ia meneratas pembaruan dalam berbagai perubahan zaman.
Arus pembaruan untuk menghindari jebakan-jebakan yang melulu menawarkan
kepastian dan kesempurnaan, sementara sejatinya kepastian dan kesempurnaan
adalah juga lingkaran yang menjemukan.
/2.
Seperti juga
dorongan melepaskan nafsu sexsual atau libido, pengulangan yang konvensional
akan sampai pada lingkaran yang menjemukan. Disinilah tubuh-jiwa perlu
pelepasan dengan cara-cara lain yang tak sekedar berhubungan badan, atau
berfantasi sexsual dengan gambar-gambar film biru. Sigmund Freud, dengan
psikoanalisanya menemukan bahwa cara lain pelepasan tenaga libido adalah
melalui kesenian. Melalui puisi, si penyair menggunakan tenaga dalam
dirinya untuk melepaskan diri dari berbagai hal kompleks. Dalam puisinya
diletakkan kemauan-kemauan dan keinginan-keinginannya sendiri.
Dengan mengutip
apa yang diungkapkan Freud, penulis tak hendak membahas pengaruh psikoanalisa
dalam karya sastra. Yang hendak dikemukakan adalah bahwa memilih melepaskan
lingkaran menjemukan melalui menulis puisi, akan menguatkan niat penyair.
Kesungguhan niat ini akan melepaskan lingkaran menjemukan yang mengurung
kata-kata, menuju puisi yang dibangun dari pemilihan kata yang kreatif untuk
memperoleh kesegaran baru dalam puisi. Dan pada maqam ini, sang penyair pun
akan disadarkan bahwa begitu banyak sampah yang telah ditulis, dan dibacakannya
dalam riuh tepuk tangan para pemulungnya.
Bagaimana dengan
orang yang baru akan menulis puisi Indonesia? Tentu syarat utamanya harus bisa
berbahasa Indonesia. Lalu mulailah menulis. Lupakanlah keinginan untuk menjadi
Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam noor, Godi Suwarna, atau para
penyair manapun. Karena puisi akan menyerap sari kehidupan, dan kehidupan
setiap orang berbeda-beda. Puisi menginginkan gairah-gairah baru untuk
melepaskan dirinya dari kejemuan, seperti libido yang menginginkan pelepasan
dengan proses kreatif yang penuh ketegangan namun sangat mengesankan.
/3.
“Aku tak bisa mengajarimu, dan tak
mungkin bisa mengajarimu menulis puisi.”
“Lalu kepada siapa saya harus
belajar menulis puisi?”
“Hidupmu adalah mata air puisimu,
dan hanya kaulah yang bisa mengalirkannya ke sungai-sungai kegelisahan menuju
muara puisimu.”
“Aku tak mengerti?”
“Ingatlah, bahwa kata-kata ada di
mana-mana, ada sebelum engkau ada. Bisakah kau menghitung berapa banyak kata
yang sedang bergerak saat ini? Pada detik ini saja semua manusia di seluruh
dunia tengah mengucap kata, di hati dan pikiran, di mulut dan tulisan, di
buku-buku, di ilmu pengetahuan, di televisi, di radio, telepon, komputer dan
internet, di mana-mana. Satu detik berapa kata yang tengah bergerak?
Bermilyar-milyar? Betapa riuhnya jika semua kata-kata itu dikumpulkan. Setiap detik
kata-kata bergerak dalam lingkarannya yang begitu-begitu saja berulang-ulang.”
“Lalu bagaimana aku harus menulis?”
“Baiklah, saat ini berapa kata yang
keluar masuk ke perpustakaan kehidupanmu? Berapa kata dari masa lalumu, berapa
kata dari suka-dukamu, dari mimpi dan kenyataanmu, dari hati dan mulutmu, dari
tangkapan mata dan telingamu, dari setiap detik denyut nadi, hingga kini,
setelah lebih dari satu milyar detik usiamu. Berapa kata? Lalu mengapa
kata-kata itu sulit sekali memasuki pintu-pintu puisimu? Ini karena kau
membunuh niat penyairmu.”
“Tidak, kini aku berniat menulis
puisi, lalu bagaimana dengan teori-teorinya?”
“Kata-kata adalah segala-galanya
bagi puisi. Ia yang menyertai perjalanan kehidupanmu. Akrabilah ia, lalu
tulislah! Tulislah apa yang paling dekat denganmu! Tulislah terus hingga
menjelma puisi! Lalu bacalah! Kenalilah puisimu! Dan kenalilah teori-teori itu
dari puisimu?”
/4.
Membicarakan
teori puisi, tentu saja akan sangat panjang dan rumit. Ini bukan saja karena
teori puisi yang terus berkembang, tapi juga penuh perdebatan seiring dengan
saling berdebatnya pendekatan kritik yang satu dengan yang lainnya. Sementara
puisi bukan sekedar kerja intelektual, tapi merupakan kerja seni yang
memerlukan proses kreatif, sebuah kesungguh-sungguhan dalam mengakrabi
kata-kata.
Untuk memulai
menulis sebuah puisi, kita simpan dulu sejenak teori-teori. Sebagai kerja seni,
puisi berangkat dari intuisi. Ia memasuki ruang-ruang imajinasi untuk
mendedahkan pengalaman puitik sang penyair. Kata-kata tak hanya harus diserap
dari sumur-sumur kehidupan, tetapi juga harus diakrabi dengan sabar dalam upaya
membangkitkan kreativitas untuk melahirkan berbagai makna. Dengan mengakrabi
kata-kata, ruang-ruang imajinasi akan menghembuskan berbagai gagasan kreatif,
kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan dan nilai rasa.
Memasuki ruang
imajinasi harus terbebas dari teori-teori. Pembebasan ini penting untuk
mencongkel kreativitas dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan. Kata-kata
diserap dan diakrabi dari segala sisi. Keinginan, ketakutan, kegembiraan, alam,
mimpi, kegilaan, fantasi tak masuk akal, menjelma hewan, menjelma benda,
melintasi ruang dan waktu. Dengan pengakraban seperti ini, akan menajamkan
kepekaan penyair dalam menaklukkan kata-kata sehingga menjadi lebih lentur dan
segar, tidak terbatas pada makna leksikon yang sudah umum.
Lalu bagaimana
dengan teori? Tentu saja teori perlu dipahami dan dikuasai. Tapi teori tidak
membentuk puisi dan puisi tidak dibentuk dari teori-teori. Puisilah yang
membentuk teori-teori. Secara kreatif ia akan membentuk pararelitas atau benang
merah dalam dirinya, mengalir ke dalam bentuk-bentuk tipografi, pemilihan
diksi, metafor-metafor, irama, intonasi, enjambemen, repetisi dan berbagai
perangkat stilistika lainnya seiring dengan mengalirnya berbagai gagasan,
kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan, sugesti, sensitifitas dan nilai rasa
yang mengandung kejujuran dan keindahan.
Jadi mulailah
menulis puisi, mulailah mencari jalan sendiri! Seperti apa yang dikatakan Jakob
Sumardjo, “Menulislah seperti berenang. Dalam berenang kita tak mengingat
aturan atau teori dalam buku.”
***
Salam,
Sarabunis Mubarok___________ Singaparna
Sarabunis Mubarok___________ Singaparna
akun facebook Sarabunis Mubarok: http://www.facebook.com/sarabunis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar