Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Kamis, 07 Maret 2013

Pemebelajaran Puisi (Mengakrabi Kata-kata - Sarabunis Mubarok)


MENGAKRABI KATA-KATA
Oleh, Sarabunis Mubarok

/1.

Apa itu sajak atau puisi? Dari begitu banyak orang menerangkan sajak atau puisi --mulai yang paling sederhana sampai yang paling rumit-- kiranya yang paling menarik adalah apa yang disampaikan oleh Sutardji Calzoum Bachri: “Niatmu adalah sajakmu. Apapun yang kau niatkan sajak, itulah sajakmu.”

Pengertian ini,  bisa didedahkan untuk membuka sebuah optimisme akan kegairahan menulis dan mengapresiasi puisi, sesuatu yang selama ini sering dianggap sebagai hal yang pekat dan sulit dijangkau masyarakat.

Bahwa niat penyair sangat penting bagi puisi, nafas intuisi yang akan
membawa kata-kata pada kehidupan, menjemputnya, dan dengan sendirinya akan menyampaikan niatnya (niat kata) untuk sampai pada niat sang penyair. Untuk menuju puisi, kata-kata tidak hanya bergerak dalam tabiat dengan niatnya sendiri-sendiri, ia akan berkembang dengan menyusuri berbagai lembah dengan cara dan jalannya yang kreatif bersama peta dalam niat penyair.

Kata-kata akan menemukan kreatifitas, keindahan dan kecerdasannya dari berbagai alam yang ia masuki. Masa lalu dan masa kini, kesedihan dan kegembiraan, mimpi dan kenyataan, ketakutan dan keinginan, angan-angan dan masa depan, dan segala rasa yang menyertai tubuh daging manusia dalam kehidupan.

Dalam lorong kehidupan masa kini yang serba instan, kekuatan niat penyair menjadikan kata-kata tak boleh lagi hanya bergerak di jalur-jalur yang sudah usang, ia mempelajari dirinya sendiri dari sudut-sudut lain, lalu ia memilih jalur dengan teliti, menghirup aura-aura kegelisahan yang bertenaga, bergerak dalam kombinasi daya bunyi dan nilai rasa yang tak sekedar spontan, namun menjiwainya sebagai perpaduan dari makna dan nilai yang menyegarkan kehidupan. Lalu diam-diam kata-kata akan tumbuh sebagai puisi, kelahiran yang menyihir penyairnya sendiri.

Demikianlah, dalam kekuatan niat penyair, puisi terus terlahir. Di sini, kata-kata tak lagi berputar dalam lingkaran dirinya yang menjemukan. Seperti Chairil, kata-kata ingin hidup seribu tahun lagi, melewati berbagi zaman dengan tak sekedar mengikuti arus, tapi ia meneratas pembaruan dalam berbagai perubahan zaman. Arus pembaruan untuk menghindari jebakan-jebakan yang melulu menawarkan kepastian dan kesempurnaan, sementara sejatinya kepastian dan kesempurnaan adalah juga lingkaran yang menjemukan.

/2.

Seperti juga dorongan melepaskan nafsu sexsual atau libido, pengulangan yang konvensional akan sampai pada lingkaran yang menjemukan. Disinilah tubuh-jiwa perlu pelepasan dengan cara-cara lain yang tak sekedar berhubungan badan, atau berfantasi sexsual dengan gambar-gambar film biru. Sigmund Freud, dengan psikoanalisanya menemukan bahwa cara lain pelepasan tenaga libido adalah melalui kesenian.  Melalui puisi, si penyair menggunakan tenaga dalam dirinya untuk melepaskan diri dari berbagai hal kompleks. Dalam puisinya diletakkan kemauan-kemauan dan keinginan-keinginannya sendiri.

Dengan mengutip apa yang diungkapkan Freud, penulis tak hendak membahas pengaruh psikoanalisa dalam karya sastra. Yang hendak dikemukakan adalah bahwa memilih melepaskan lingkaran menjemukan melalui menulis puisi, akan menguatkan niat penyair. Kesungguhan niat ini akan melepaskan lingkaran menjemukan yang mengurung kata-kata, menuju puisi yang dibangun dari pemilihan kata yang kreatif untuk memperoleh kesegaran baru dalam puisi. Dan pada maqam ini, sang penyair pun akan disadarkan bahwa begitu banyak sampah yang telah ditulis, dan dibacakannya dalam riuh tepuk tangan para pemulungnya.

Bagaimana dengan orang yang baru akan menulis puisi Indonesia? Tentu syarat utamanya harus bisa berbahasa Indonesia. Lalu mulailah menulis. Lupakanlah keinginan untuk menjadi Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam noor, Godi Suwarna, atau para penyair manapun. Karena puisi akan menyerap sari kehidupan, dan kehidupan setiap orang berbeda-beda. Puisi menginginkan gairah-gairah baru untuk melepaskan dirinya dari kejemuan, seperti libido yang menginginkan pelepasan dengan proses kreatif yang penuh ketegangan namun sangat mengesankan.


/3.

“Aku tak bisa mengajarimu, dan tak mungkin bisa mengajarimu menulis puisi.”

“Lalu kepada siapa saya harus belajar menulis puisi?”

“Hidupmu adalah mata air puisimu, dan hanya kaulah yang bisa mengalirkannya ke sungai-sungai kegelisahan menuju muara puisimu.”

“Aku tak mengerti?”

“Ingatlah, bahwa kata-kata ada di mana-mana, ada sebelum engkau ada. Bisakah kau menghitung berapa banyak kata yang sedang bergerak saat ini? Pada detik ini saja semua manusia di seluruh dunia tengah mengucap kata, di hati dan pikiran, di mulut dan tulisan, di buku-buku, di ilmu pengetahuan, di televisi, di radio, telepon, komputer dan internet, di mana-mana. Satu detik berapa kata yang tengah bergerak? Bermilyar-milyar? Betapa riuhnya jika semua kata-kata itu dikumpulkan. Setiap detik kata-kata bergerak dalam lingkarannya yang begitu-begitu saja berulang-ulang.”

“Lalu bagaimana aku harus menulis?”

“Baiklah, saat ini berapa kata yang keluar masuk ke perpustakaan kehidupanmu? Berapa kata dari masa lalumu, berapa kata dari suka-dukamu, dari mimpi dan kenyataanmu, dari hati dan mulutmu, dari tangkapan mata dan telingamu, dari setiap detik denyut nadi, hingga kini, setelah lebih dari satu milyar detik usiamu. Berapa kata? Lalu mengapa kata-kata itu sulit sekali memasuki pintu-pintu puisimu? Ini karena kau membunuh niat penyairmu.”

“Tidak, kini aku berniat menulis puisi, lalu bagaimana dengan teori-teorinya?”

“Kata-kata adalah segala-galanya bagi puisi. Ia yang menyertai perjalanan kehidupanmu. Akrabilah ia, lalu tulislah! Tulislah apa yang paling dekat denganmu! Tulislah terus hingga menjelma puisi! Lalu bacalah! Kenalilah puisimu! Dan kenalilah teori-teori itu dari puisimu?”

/4.

Membicarakan teori puisi, tentu saja akan sangat panjang dan rumit. Ini bukan saja karena teori puisi yang terus berkembang, tapi juga penuh perdebatan seiring dengan saling berdebatnya pendekatan kritik yang satu dengan yang lainnya. Sementara puisi bukan sekedar kerja intelektual, tapi merupakan kerja seni yang memerlukan proses kreatif, sebuah kesungguh-sungguhan dalam mengakrabi kata-kata.

Untuk memulai menulis sebuah puisi, kita simpan dulu sejenak teori-teori. Sebagai kerja seni, puisi berangkat dari intuisi. Ia memasuki ruang-ruang imajinasi untuk mendedahkan pengalaman puitik sang penyair. Kata-kata tak hanya harus diserap dari sumur-sumur kehidupan, tetapi juga harus diakrabi dengan sabar dalam upaya membangkitkan kreativitas untuk melahirkan berbagai makna. Dengan mengakrabi kata-kata, ruang-ruang imajinasi akan menghembuskan berbagai gagasan kreatif, kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan dan nilai rasa.

Memasuki ruang imajinasi harus terbebas dari teori-teori. Pembebasan ini penting untuk mencongkel kreativitas dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan. Kata-kata diserap dan diakrabi dari segala sisi. Keinginan, ketakutan, kegembiraan, alam, mimpi, kegilaan, fantasi tak masuk akal, menjelma hewan, menjelma benda, melintasi ruang dan waktu. Dengan pengakraban seperti ini, akan menajamkan kepekaan penyair dalam menaklukkan kata-kata sehingga menjadi lebih lentur dan segar, tidak terbatas pada makna leksikon yang sudah umum.

Lalu bagaimana dengan teori? Tentu saja teori perlu dipahami dan dikuasai. Tapi teori tidak membentuk puisi dan puisi tidak dibentuk dari teori-teori. Puisilah yang membentuk teori-teori. Secara kreatif ia akan membentuk pararelitas atau benang merah dalam dirinya, mengalir ke dalam bentuk-bentuk tipografi, pemilihan diksi, metafor-metafor, irama, intonasi, enjambemen, repetisi dan berbagai perangkat stilistika lainnya seiring dengan mengalirnya berbagai gagasan, kiasan-kiasan, simbol-simbol, pencitraan, sugesti, sensitifitas dan nilai rasa yang mengandung kejujuran dan keindahan.

Jadi mulailah menulis puisi, mulailah mencari jalan sendiri! Seperti apa yang dikatakan Jakob Sumardjo, “Menulislah seperti berenang. Dalam berenang kita tak mengingat aturan atau teori dalam buku.”


***

Salam,
Sarabunis Mubarok___________ Singaparna


akun facebook Sarabunis Mubarok: http://www.facebook.com/sarabunis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar