GELAR BUDAYA PURNA KALA
Refleksi Akhir Tahun Seniman Ciamis
Jika selama ini kesenian masih
dianggap sebagai milik para praktisi kesenian saja, lalu apa manfaatnya bagi
masyarakat?
Ada berbagai alasan yang menjadikan kesenian selama ini seolah berjarak
dengan masyarakat, baik itu dari praktisi kesenian, masyarakat, pemerintah,
ataupun kesenian itu sendiri.
Kesenian sebagai salah satu bagian dari budaya tentu ada
hubungannya dengan masyarakat. Selain sebagai hiburan, kesenian juga berperan
penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui kesenian masyarakat
dapat membentuk pola pikirnya tentang berbagai hal, termasuk budaya dan
kehidupan.
Di penghujung tahun 2011, generasi muda di Kecamatan Kawali
menggagas sebuah kegiatan seni tradisi Sunda yang bertajuk "Gelar Budaya
Purna Kala". Kegiatan ini diprakarsai oleh Pandu Radea, Rd. Ega Anggara
Kautsar serta generasi-generasi muda di Kawali. Purna Kala yang dalam bahasa
Sunda mempunyai arti menyempurnakan waktu, dipakai sebagai nama kegiatan yang
memang digagas untuk menghayati, mensyukuri, sekaligus memberikan arti yang
positif bagi peristiwa pergantian tahun itu sendiri. Selain itu, kegiatan yang
memang sebagian besar diisi oleh acara-acara kesenian ini memiliki tujuan untuk
memasyarakatkan seni, terutama seni-seni tradisi Sunda yang mulai dilupakan
atau tergeser oleh sebuah arus budaya baru dari luar. Jika di sebagian daerah
acara pergantian tahun lebih identik dengan euforia, suara-suara terompet,
dentuman dan kilauan kembang api, musik-musik bising, atau kemolekan
gadis-gadis dancer, maka Kawali menyuguhkan sesuatu yang berbeda, yakni
kesenian tradisi, karnaval budaya, bahkan lomba mewarnai, khitanan masal, dan
penganugerahan budaya pun masuk dalam rangkaian acara.
Kegiatan yang dilaksanakan dari pukul 09.00 sampai 00.30 dini
hari ini (31 Desember 2011 sampai 01 Januari 2012) mendapat sambutan hangat
dari masyarakat. Bukan hanya dari masyarakat Kawali saja, bahkan se-Ciamis
utara. Antusiasme masyarakat begitu terasa ketika mereka rela datang dari jauh,
berdesak-desakan, dan menikmati setiap acara yang disajikan.
"Kegiatan yang bertempat di Alun-alun Kecamatan Kawali ini, terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak dan partisipan, baik itu pemerintahan atau di luar pemerintahan," ujar Rd. Ega Anggara, ketua panitia. Rencananya kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan Kecamatan Kawali. Kawali yang selama ini dikenal dengan situs purbakala Astana Gede dan Kerajaan Galuhnya mencoba untuk menghidupkan kembali potensi-potensi kesenian, terutama kesenian tradisi Sunda yang selama ini kurang mendapat perhatian, atau bahkan mulai terlupakan masyarakatnya.
"Kegiatan yang bertempat di Alun-alun Kecamatan Kawali ini, terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak dan partisipan, baik itu pemerintahan atau di luar pemerintahan," ujar Rd. Ega Anggara, ketua panitia. Rencananya kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan Kecamatan Kawali. Kawali yang selama ini dikenal dengan situs purbakala Astana Gede dan Kerajaan Galuhnya mencoba untuk menghidupkan kembali potensi-potensi kesenian, terutama kesenian tradisi Sunda yang selama ini kurang mendapat perhatian, atau bahkan mulai terlupakan masyarakatnya.
Acara pertama khitanan masal, kemudian lomba mewarnai untuk
mengapresiasi bakat dari generasi-generasi penerus di Kawali. Selepas Dzuhur,
kegiatan dilanjutkan dengan pembukaan dan pelepasan karnaval budaya yang
dihadiri Wakil Bupati, Dandim, Koramil, dan beberapa pejabat lainnya. Karnaval
budaya dimeriahkan oleh para peserta yang terdiri dari berbagi kalangan
masyarakat. Wayang Landung yang dipergelarkan menjadi daya tarik tersendiri
dalam karnaval ini. Karnaval ini sendiri digelar sebagai bentuk pengenalan
seni-seni tradisi sekaligus silaturahmi bagi masyarakat dan para pengguna
jalan.
Sesampainya di tujuan akhir karnaval, yakni panggung utama
yang terletak di Alun-alun Kecamatan Kawali, semua peserta karnaval disuguhi
penampilan pencak silat yang memukau dari kelompok silat Isbatul Husna, dari
Kecamatan Panumbangan Kab. Ciamis. Kelompok silat yang telah berdiri sejak 1996
ini kini telah menjadi bagian kurikulum beberapa sekolah di Kecamatan
Panumbangan, baik itu tingkat SMP ataupun SMA. Isbatul Husna sendiri memang
sangat memprioritaskan generasi muda sebagai anggota kelompoknya. "Supaya
mereka dapat mengenal dan melestarikan seni bela diri nenek moyangnya,"
ujar Neni, kordinator kelompok silat Isbatul Husna.
Sore harinya wayang landung yang telah dianggap sebagai salah
satu seni tradisi di Kab. Ciamis kembali mempertunjukan keeksotisannya. Berbeda
dengan penampilan-penampilan wayang landung sebelumnya, kini wayang yang
memiliki ukuran setinggi 5 meter ini diduelkan. Setiap wayang ini memegang
sesuatu yang menyerupai gada, dan ini dipakai sebagai senjata untuk mengalahkan
lawannya. Acara ini ternyata mampu menyita perhatian dari masyarakat, bahkan
beberapa masyarakat diperkenankan untuk ikut mencoba memainkan wayang raksaa
ini. Pandu Radea sebagai pencipta seni wayang landung sendiri menjelaskan bahwa
gelaran ini dinamai jogol landung. "Gelaran jogol landung memiliki
filosofi hukum rimba, bahwa kita hidup di dunia ini sebenarnya harus mampu
bertahan dari segala bentuk tantangan atau serangan, baik itu yang bersifat fisik,
ataupun pemikiran," katanya.
Penghargaan
Penghargaan
Menjelang malam hari acara dilanjutkan dengan longser wayang.
Konsep dari longser wayang sendiri sebenarnya merupakan lawakan yang dikemas
dalam bentuk perpaduan longser dan wayang. Ada tokoh lengser yang bertugas
sebagai penata acara. Longser ini pun berdialog interaktif dengan para pemain
sekaligus penonton. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi kejenuhan bagi
penonton. Sebelum memasuki cerita wayang, longser wayang ini menampilkan
kesenian-kesenian tradisi Sunda dari anak-anak SD dan SMP di Kawali. Ada
"Sarining Ronggeng", "Dangding Patareman", dan "Kawih
Panambih". Lagi-lagi, penonton dibuat terkagum-kagum akan bakat seni
tradisi dari anak-anak seusia SD dan SMP.
Sarining Ronggeng sebagai seni tari yang mengadaptasi
kesenian ronggeng ini mampu dimainkan secara piawai oleh gadis-gadis belia.
Dangding Patareman merupakan banyolan anak-anak yang sudah jarang dimainkan. Penampilan
Dangding Patareman nampak megah ketika tambahan gerakan serta vokal yang saling
bersahutan menghiasi pertunjukan dari keluguan anak-anak. Selanjutnya
penampilan Kawih Panambih. Kawih Panambih merupakan sekar irama yang dipadukan
dengan penambahan rampak kecapi yang dimainkan oleh anak-anak.
Penampilan-penampilan tersebut menjadi daya tarik dan kenikmatan tersendiri
bagi para penonton.
Setelah itu wayang pun digelar. Pertunjukan wayang ini
diperankan oleh manusia. Mereka yang menjadi wayang adalah para pelawak yang
sudah mempunyai nama di Ciamis. Ada Mak Apay, Papa, Kancil dan Sablon. Lakon
wayang ini bercerita tentang pemilihan lurah (pemimpin). Ani Sumarna sebagai
dalang bercerita dengan sangat menghibur. Ia memainkan para pelawak senior
sebagai keluarga Semar. Mak Apay sebagai istri Semar. Papa, Kancil dan Sablon
berperan sebagai Cepot, Gareng dan Dewala. Semar yang diceritakan menjadi lurah
berniat lengser sebelum dilengserkan oleh orang lain. Kemudian dilakukanlah pemilihan
lurah (pemimpin) tersebut. Anak-anak dari semar semuanya sama-sama berambisi
besar untuk duduk di kursi kepemimpinan menggantikan ayahnya. Mereka
berkampanye, membujuk rakyat dan saling membanggakan akan kemampuan
masing-masing. Bahkan seperti dalam panggung politik di negara kita, mereka
hampir bertengkar, meski mereka sadar bahwa mereka adalah saudara.
Menjelang tengah malam panitia menyediakan sebuah kejutan
bagi salah satu praktisi seni tradisi yang ada di Kab. Ciamis. Mak Apay, wanita
berusia 67 tahun ini yang mungkin paling terkejut. Ia mendapat penganugerahan
budaya dari pihak panitia sebagai maestro seni tradisi. Ini semua merupakan
penghargaan atas kiprahnya dalam berkesenian. Ia berkesenian sejak usia 7
tahun, dan selama itu pulalah ia telah merambah berbagai genre seni tradisi,
terutama yang berasal dari Kab. Ciamis.
Suasana haru tidak pula dirasakan panitia dan Mak Apay saja,
masyarakat pun bersorak memberikan sambutan, malam itu seolah-olah mereka
memahami perasaan Mak Apay yang larut dalam keharuan.
Ruwatan Purna Kala
Tengah malam ketika tiba saatnya mengganti tahun 2011 dengan
tahun baru 2012, ruwatan purna kala pun digelar. Ini merupakan acara puncak
dari seluruh rangkaian acara. Satu orang panitia ditugasi untuk membawa obor
kecil dan memanjat tiang dari bambu yang di atasnya telah tersedia obor besar,
dan sesampainya di atas, obor tersebut pun dinyalakan. Ini sebagai suatu simbol
refleksi kehidupan, yang artinya bahwa kita harus berjuang untuk meraih harapan
baru yang lebih baik di masa yang akan datang, meski di masa sekarang kita
hanya berbekal sesuatu yang kecil.
Masyarakat paham bahwa saat itu mereka telah menginjak waktu
yang baru, dan setelah obor besar menyala, mereka ada yang merenung, menikmati
dentuman suara-suara lodong karbit yang telah disediakan panitia. Tak sedikit
dari masyarakat yang langsung memeriahkannya dengan suara-suara klakson
kendaraan, terompet atau bahkan kembang api yang telah dianggap sebagai
identitas pergantian tahun selama ini.
Refleksi dari setiap rangkaian acara nampaknya tertangkap di
hati setiap individu yang datang saat itu. Bukan hanya sekedar terhibur, mereka
seolah telah menuntaskan kerinduannya akan seni tradisi yang selama ini memang
sulit untuk dikenali. Bagaimana tidak, kini setiap hajatan lebih terbiasa
dengan orkes-orkes atau sejenisnya. Padahal dahulu, seni tradisi semacam ini
menjadi kebanggaan si empunya hajat ketika mampu menampilkan kesenian semacam
ini dalam hajatannya. Keberlangsungan itulah sebenarnya yang menghidupi para
seniman tradisi, sehingga seni tradisi hidup sebagai sebuah kebanggan
masyarakat.
Kegiatan semacam ini pada dasarnya menjadi batu loncatan akan
kelangsungan seni tradisi dan hubungannya dengan masyarakat. Masyarakat bisa
mengenal kembali seni-seni tradisi yang telah diwariskan leluhurnya, dan para
seniman tradisi bisa kembali mengobati kebahagiaan perjuangan berkesenian yang
selama ini memang susah diperjuangkan.
Jika saja pemerintah cepat tanggap, secara tidak langsung
kegiatan ini telah menjadi simbol bahwa masyarakat memang merindukan gelaran
seni tradisi nenek moyangnya. Mudah-mudahan setelah kegiatan Gelar Budaya Purna
Kala ini, seni tradisi kembali hidup di tengah-tengah masyarakat, baik itu dihidupkan
oleh hajatan-hajatan masyarakat, ataupun pemerintahan, amin.***
Arinda Risa Kamal. Lahir dan besar di Kawali. Bergiat di
Sanggar Sastra Tasik (SST), Teater 28, dan Beranda 57.
Gelaran berbagai kesenian tradisi dalam acara yang bertajuk
“Gelar Budaya Purna Kala” di Alun-alun Kec. Kawali, Kab. Ciamis, Sabtu
(31/12/11) hingga memasuki pergantian tahun 2012. Kegiatan ini disambut
antusias oleh masyarakat di Ciamis utara. Tampak dalam gambar, tarian “Sarining
Ronggeng” yang disajikan oleh siswi SMP N 1 Kawali, pagelaran wayang landung,
dan Mak Apay (kiri), salah seorang seniman kahot Ciamis yang mendapat
penghargaan dari panitia Gelar Budaya Purna Kala. Kegiatan semacam ini
diharapkan menjadi agenda tahunan pemerintah Kec. Kawali, Kab. Ciamis
(Kabar Priangan, 04 Januari 2012)