Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Minggu, 10 Februari 2013

Liputan dan Tanggapan dari Salah Satu Kegiatan di Tanah Kelahiran

GELAR BUDAYA PURNA KALA
Refleksi Akhir Tahun Seniman Ciamis

Jika selama ini kesenian masih dianggap sebagai milik para praktisi kesenian saja, lalu apa manfaatnya bagi masyarakat?
Ada berbagai alasan yang menjadikan kesenian selama ini seolah berjarak dengan masyarakat, baik itu dari praktisi kesenian, masyarakat, pemerintah, ataupun kesenian itu sendiri.
Kesenian sebagai salah satu bagian dari budaya tentu ada hubungannya dengan masyarakat. Selain sebagai hiburan, kesenian juga berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui kesenian masyarakat dapat membentuk pola pikirnya tentang berbagai hal, termasuk budaya dan kehidupan.
Di penghujung tahun 2011, generasi muda di Kecamatan Kawali menggagas sebuah kegiatan seni tradisi Sunda yang bertajuk "Gelar Budaya Purna Kala". Kegiatan ini diprakarsai oleh Pandu Radea, Rd. Ega Anggara Kautsar serta generasi-generasi muda di Kawali. Purna Kala yang dalam bahasa Sunda mempunyai arti menyempurnakan waktu, dipakai sebagai nama kegiatan yang memang digagas untuk menghayati, mensyukuri, sekaligus memberikan arti yang positif bagi peristiwa pergantian tahun itu sendiri. Selain itu, kegiatan yang memang sebagian besar diisi oleh acara-acara kesenian ini memiliki tujuan untuk memasyarakatkan seni, terutama seni-seni tradisi Sunda yang mulai dilupakan atau tergeser oleh sebuah arus budaya baru dari luar. Jika di sebagian daerah acara pergantian tahun lebih identik dengan euforia, suara-suara terompet, dentuman dan kilauan kembang api, musik-musik bising, atau kemolekan gadis-gadis dancer, maka Kawali menyuguhkan sesuatu yang berbeda, yakni kesenian tradisi, karnaval budaya, bahkan lomba mewarnai, khitanan masal, dan penganugerahan budaya pun masuk dalam rangkaian acara.
Kegiatan yang dilaksanakan dari pukul 09.00 sampai 00.30 dini hari ini (31 Desember 2011 sampai 01 Januari 2012) mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Bukan hanya dari masyarakat Kawali saja, bahkan se-Ciamis utara. Antusiasme masyarakat begitu terasa ketika mereka rela datang dari jauh, berdesak-desakan, dan menikmati setiap acara yang disajikan. 
"Kegiatan yang bertempat di Alun-alun Kecamatan Kawali ini, terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak dan partisipan, baik itu pemerintahan atau di luar pemerintahan," ujar Rd. Ega Anggara, ketua panitia. Rencananya kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan Kecamatan Kawali. Kawali yang selama ini dikenal dengan situs purbakala Astana Gede dan Kerajaan Galuhnya mencoba untuk menghidupkan kembali potensi-potensi kesenian, terutama kesenian tradisi Sunda yang selama ini kurang mendapat perhatian, atau bahkan mulai terlupakan masyarakatnya.
Acara pertama khitanan masal, kemudian lomba mewarnai untuk mengapresiasi bakat dari generasi-generasi penerus di Kawali. Selepas Dzuhur, kegiatan dilanjutkan dengan pembukaan dan pelepasan karnaval budaya yang dihadiri Wakil Bupati, Dandim, Koramil, dan beberapa pejabat lainnya. Karnaval budaya dimeriahkan oleh para peserta yang terdiri dari berbagi kalangan masyarakat. Wayang Landung yang dipergelarkan menjadi daya tarik tersendiri dalam karnaval ini. Karnaval ini sendiri digelar sebagai bentuk pengenalan seni-seni tradisi sekaligus silaturahmi bagi masyarakat dan para pengguna jalan.
Sesampainya di tujuan akhir karnaval, yakni panggung utama yang terletak di Alun-alun Kecamatan Kawali, semua peserta karnaval disuguhi penampilan pencak silat yang memukau dari kelompok silat Isbatul Husna, dari Kecamatan Panumbangan Kab. Ciamis. Kelompok silat yang telah berdiri sejak 1996 ini kini telah menjadi bagian kurikulum beberapa sekolah di Kecamatan Panumbangan, baik itu tingkat SMP ataupun SMA. Isbatul Husna sendiri memang sangat memprioritaskan generasi muda sebagai anggota kelompoknya. "Supaya mereka dapat mengenal dan melestarikan seni bela diri nenek moyangnya," ujar Neni, kordinator kelompok silat Isbatul Husna.
Sore harinya wayang landung yang telah dianggap sebagai salah satu seni tradisi di Kab. Ciamis kembali mempertunjukan keeksotisannya. Berbeda dengan penampilan-penampilan wayang landung sebelumnya, kini wayang yang memiliki ukuran setinggi 5 meter ini diduelkan. Setiap wayang ini memegang sesuatu yang menyerupai gada, dan ini dipakai sebagai senjata untuk mengalahkan lawannya. Acara ini ternyata mampu menyita perhatian dari masyarakat, bahkan beberapa masyarakat diperkenankan untuk ikut mencoba memainkan wayang raksaa ini. Pandu Radea sebagai pencipta seni wayang landung sendiri menjelaskan bahwa gelaran ini dinamai jogol landung. "Gelaran jogol landung memiliki filosofi hukum rimba, bahwa kita hidup di dunia ini sebenarnya harus mampu bertahan dari segala bentuk tantangan atau serangan, baik itu yang bersifat fisik, ataupun pemikiran," katanya.
Penghargaan
Menjelang malam hari acara dilanjutkan dengan longser wayang. Konsep dari longser wayang sendiri sebenarnya merupakan lawakan yang dikemas dalam bentuk perpaduan longser dan wayang. Ada tokoh lengser yang bertugas sebagai penata acara. Longser ini pun berdialog interaktif dengan para pemain sekaligus penonton. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi kejenuhan bagi penonton. Sebelum memasuki cerita wayang, longser wayang ini menampilkan kesenian-kesenian tradisi Sunda dari anak-anak SD dan SMP di Kawali. Ada "Sarining Ronggeng", "Dangding Patareman", dan "Kawih Panambih". Lagi-lagi, penonton dibuat terkagum-kagum akan bakat seni tradisi dari anak-anak seusia SD dan SMP.
Sarining Ronggeng sebagai seni tari yang mengadaptasi kesenian ronggeng ini mampu dimainkan secara piawai oleh gadis-gadis belia. Dangding Patareman merupakan banyolan anak-anak yang sudah jarang dimainkan. Penampilan Dangding Patareman nampak megah ketika tambahan gerakan serta vokal yang saling bersahutan menghiasi pertunjukan dari keluguan anak-anak. Selanjutnya penampilan Kawih Panambih. Kawih Panambih merupakan sekar irama yang dipadukan dengan penambahan rampak kecapi yang dimainkan oleh anak-anak. Penampilan-penampilan tersebut menjadi daya tarik dan kenikmatan tersendiri bagi para penonton.
Setelah itu wayang pun digelar. Pertunjukan wayang ini diperankan oleh manusia. Mereka yang menjadi wayang adalah para pelawak yang sudah mempunyai nama di Ciamis. Ada Mak Apay, Papa, Kancil dan Sablon. Lakon wayang ini bercerita tentang pemilihan lurah (pemimpin). Ani Sumarna sebagai dalang bercerita dengan sangat menghibur. Ia memainkan para pelawak senior sebagai keluarga Semar. Mak Apay sebagai istri Semar. Papa, Kancil dan Sablon berperan sebagai Cepot, Gareng dan Dewala. Semar yang diceritakan menjadi lurah berniat lengser sebelum dilengserkan oleh orang lain. Kemudian dilakukanlah pemilihan lurah (pemimpin) tersebut. Anak-anak dari semar semuanya sama-sama berambisi besar untuk duduk di kursi kepemimpinan menggantikan ayahnya. Mereka berkampanye, membujuk rakyat dan saling membanggakan akan kemampuan masing-masing. Bahkan seperti dalam panggung politik di negara kita, mereka hampir bertengkar, meski mereka sadar bahwa mereka adalah saudara.
Menjelang tengah malam panitia menyediakan sebuah kejutan bagi salah satu praktisi seni tradisi yang ada di Kab. Ciamis. Mak Apay, wanita berusia 67 tahun ini yang mungkin paling terkejut. Ia mendapat penganugerahan budaya dari pihak panitia sebagai maestro seni tradisi. Ini semua merupakan penghargaan atas kiprahnya dalam berkesenian. Ia berkesenian sejak usia 7 tahun, dan selama itu pulalah ia telah merambah berbagai genre seni tradisi, terutama yang berasal dari Kab. Ciamis.
Suasana haru tidak pula dirasakan panitia dan Mak Apay saja, masyarakat pun bersorak memberikan sambutan, malam itu seolah-olah mereka memahami perasaan Mak Apay yang larut dalam keharuan.
Ruwatan Purna Kala
Tengah malam ketika tiba saatnya mengganti tahun 2011 dengan tahun baru 2012, ruwatan purna kala pun digelar. Ini merupakan acara puncak dari seluruh rangkaian acara. Satu orang panitia ditugasi untuk membawa obor kecil dan memanjat tiang dari bambu yang di atasnya telah tersedia obor besar, dan sesampainya di atas, obor tersebut pun dinyalakan. Ini sebagai suatu simbol refleksi kehidupan, yang artinya bahwa kita harus berjuang untuk meraih harapan baru yang lebih baik di masa yang akan datang, meski di masa sekarang kita hanya berbekal sesuatu yang kecil.
Masyarakat paham bahwa saat itu mereka telah menginjak waktu yang baru, dan setelah obor besar menyala, mereka ada yang merenung, menikmati dentuman suara-suara lodong karbit yang telah disediakan panitia. Tak sedikit dari masyarakat yang langsung memeriahkannya dengan suara-suara klakson kendaraan, terompet atau bahkan kembang api yang telah dianggap sebagai identitas pergantian tahun selama ini.
Refleksi dari setiap rangkaian acara nampaknya tertangkap di hati setiap individu yang datang saat itu. Bukan hanya sekedar terhibur, mereka seolah telah menuntaskan kerinduannya akan seni tradisi yang selama ini memang sulit untuk dikenali. Bagaimana tidak, kini setiap hajatan lebih terbiasa dengan orkes-orkes atau sejenisnya. Padahal dahulu, seni tradisi semacam ini menjadi kebanggaan si empunya hajat ketika mampu menampilkan kesenian semacam ini dalam hajatannya. Keberlangsungan itulah sebenarnya yang menghidupi para seniman tradisi, sehingga seni tradisi hidup sebagai sebuah kebanggan masyarakat.
Kegiatan semacam ini pada dasarnya menjadi batu loncatan akan kelangsungan seni tradisi dan hubungannya dengan masyarakat. Masyarakat bisa mengenal kembali seni-seni tradisi yang telah diwariskan leluhurnya, dan para seniman tradisi bisa kembali mengobati kebahagiaan perjuangan berkesenian yang selama ini memang susah diperjuangkan.

Jika saja pemerintah cepat tanggap, secara tidak langsung kegiatan ini telah menjadi simbol bahwa masyarakat memang merindukan gelaran seni tradisi nenek moyangnya. Mudah-mudahan setelah kegiatan Gelar Budaya Purna Kala ini, seni tradisi kembali hidup di tengah-tengah masyarakat, baik itu dihidupkan oleh hajatan-hajatan masyarakat, ataupun pemerintahan, amin.***




Arinda Risa Kamal. Lahir dan besar di Kawali. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST), Teater 28, dan Beranda 57.





Gelaran berbagai kesenian tradisi dalam acara yang bertajuk “Gelar Budaya Purna Kala” di Alun-alun Kec. Kawali, Kab. Ciamis, Sabtu (31/12/11) hingga memasuki pergantian tahun 2012. Kegiatan ini disambut antusias oleh masyarakat di Ciamis utara. Tampak dalam gambar, tarian “Sarining Ronggeng” yang disajikan oleh siswi SMP N 1 Kawali, pagelaran wayang landung, dan Mak Apay (kiri), salah seorang seniman kahot Ciamis yang mendapat penghargaan dari panitia Gelar Budaya Purna Kala. Kegiatan semacam ini diharapkan menjadi agenda tahunan pemerintah Kec. Kawali, Kab. Ciamis


(Kabar Priangan, 04 Januari 2012)

Sabtu, 09 Februari 2013

Satu Sajak Silam Tentang Tuhan


Tentang Tuhan


Ia senyap yang baka
Ia kuasa dalam tiada



2010

Sebuah Bahasan (Catatan yang Mengingatkan)


Membaca Puisi Arinda Risa Kamal
Oleh Amang S. Hidayat



PUISI  merupakan hasil kerja sebuah perhitungan mengeksplorasi kata. Sebagai energi  penyair, untuk mengatur, menyusun, mengomposisikan dan menyistematisasi kata demi kata guna mencapai pencitraan sebagai satu kesatuan bentuk syair (puisi).
Secara umum puisi adalah kerja kreatif yang tak kunjung usai, karena kekayaan yang terkandung di dalamnya. Objek yang dituangkan ke dalam puisi dapat digali dari pengalaman empirik sang kreator (penyair) tentang kekuatan intuisinya. Dalam mengolah pengalaman, ke dalam kata yang disusun jadi kalimat-kalimat indah dengan pendalaman metafor sedemikian rupa, hingga idiom-idiom yang digunakan sebagai bahan pembendaharaan kata patut di kuasai dan difahami penyair. Di mana kemampuan mempersonifikasikan, baik itu kekayaan alam, benda atau hal-hal lain yang bersifat umum menjadi bagian penting. Untuk itu diperlukan kemampuan mengolah imajinasi untuk mempertajam intuisi kepenyairan.
Dalam hal ini, setelah mengkaji dan mendalami beberapa karya puisi Arinda Risa Kamal dapat diambil kesimpulan mendasar,  bahwa sudut pandang penulisan puisinya dapat dibagi menjadi beberapa jenis secara tematis, yakni puisi cinta, puisi religius dan puisi sosial. Hal ini penting dikemukakan, terutama untuk mempermudah pemahaman kita secara lebih mendalam tentang karya Arinda Risa Kamal tersebut.
Tema-tema tersebut setelah diperhatikan secara struktur rancang bangun dan pencitraan dari idiom yang diungkapkan dalam puisi Arinda Risa Kamal terdapat kekakuan makna bahkan penghamburan kata, di mana kata “aku”  begitu boros digunakan di hampir pada banyak karyanya. Hingga inti dari puisi untuk memperluas lanskap kata dan pemaknaan dari puisi yang dimaksud menjadi kabur, bahkan di banyak bait terkesan kata “aku”, “ku” menjadi dimentahkan kembali, terutama pada sajak-sajak bertema cinta misalnya: elegi kopi, sakitmu, perjumpaan, dan lainnya.
Padahal langsung atau tidak, puisi adalah bagian pembocoran empirik si penyair atau pembocoran yang sengaja diolah penyairnya dan hal itu sah-sah saja, tinggal bagaimana mengolah kemampuan memilih idiom-idiom yang tepat agar pemaknaan Aku lirik dalam syair puisi tak menjadi benturan yang membuat rancu antara Aku penyair sebagai penulis lirik itu sendiri.
Jika saja penyair Arinda Risa Kamal mencermati lebih mendalam tentang alam tempat di mana beliau tinggal, atau juga kampus atau kampung halamannya, hal ini akan lebih memungkinkan memberi banyak inspirasi. Jika saja giat menimba sumber inspirasi tersebut juga merenungkan dan menghayati karya-karya kesenian tradisi di sekitarnya berupa kearifan lokal, juga menghayati sastra-sastra lama (lisan), meskipun hanya sekedar spiritnya saja yang kita ambil, dapat digunakan untuk melatih kepekaan atas berbagai spirit peristiwa di sekitarnya.
Arinda Risa Kamal sebagai mahasiswa Unsil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang lahir di alam Ciamis yang puitis, tepatnya di Kawali yang sekitarnya sarat dengan makna sejarah Pajajaran dan Galuh di mana situs-situs dan legenda banyak terdapat di sana, sesungguhnya hal itu bisa saja menjadi bagian dari sumber inspirasi dalam sajak-sajak dan puisinya. Pengambilan tema-tema puisi religi, sosial dan cinta yang katanya merupakan pengalaman empirik, bisa membuat jiwa terguncang, bergelora, bergairah sekaligus sedih. Dan semua itu bisa menjadi sumber tema-tema puisi tadi.
Menyelami  jiwa penyair kadang-kadang narsis dalam mengkaji kemampuan mengatur makna, ruh, rima, prase, benang merah peristiwa dalam sajak menjadi intens, dan sekaligus begitu mudah untuk diakrabi.
Juga unsur bunyi rima dan komposisi menjadi bagian penting pencapaian nilai estetik sebuah karya (sastra dan puisi). Maka sekali lagi persepsi tentang karya sastra menjadi hal penting bagi pembekalan bahan dan pembendaharaan agar ketika membuat puisi relatif menjadi mudah dicerna, gampang dicermati, bersifat sederhana tanpa mengurangi kedalaman makna yang terkandung di dalamnya.
Selamat!! Fokus terus pada karya sastra…..!!!! Sebab, pada hakikatnya belajar bahasa (sastra) adalah belajar berkomunikasi. (*)

Tasikmalaya, 14 januari 2011



Amang S Hidayat adalah seorang penyair dan praktisi teater. Hingga saat ini tercatat sebagai pendiri dan pengelola Sanggar Seni Teater Bolon (SSTB), satu-satunya kelompok teater anak-anak yang ada di kota Tasikmalaya. 

Esai Kemahasiswaan


Mahasiswa Sebagai Generasi Intelektual
oleh,  Arinda Risa Kamal*

Predikat generasi intelektual yang disandang oleh mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagai generasi intelektual sudah sepatutnyalah mahasiswa lebih berpikir dalam setiap tindak-tanduknya, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosialnya.

SOE Hoek Gie dalam catatan hariannya, Senin, 14 Januari 1963 mengungkapkan, “Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya.” (Soe Hoek Gie. Catatan Seorang Demonstran - 2008:110-111).
          Ungkapan Soe Hok Gie di atas membuat kita berpikir kembali tentang tingkah laku kehidupan mahasiswa yang banyak mengalami perubahan sekarang ini. Padahal mahasiswa mempunyai peranan penting dalam tatanan sosial (masyarakat). Banyak hal yang bisa dilakukan mahasiswa untuk memenuhi peranannya dalam masyarakat, di antaranya melakukan pemantauan (monitoring) jalannya kehidupan masyarakat secara umum, baik itu pemerintahan ataupun hajat hidup sipil lainnya. Hal ini dilakukan demi terciptanya perbaikan kehidupan masyarakat yang seimbang di masa datang.
          Jika melihat fungsi mahasiswa sebagai seorang pemantau, maka mahasiswa harus mampu memasrahkan hidupnya demi cita dan perjuangan yang mulia. Bersikap jujur atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekitar masyarakatnya serta terus mengemukakan kesadaran kritisnya demi perubahan tatanan kehidupan yang lebih baik.
          Sikap kritis adalah bentuk ungkapan dari kesadaran kritis yang terbentuk karena kepekaan seseorang terhadap sesuatu. Maka dari itu sikap kritis bagi mahasiswa merupakan hal penting. Sebab dalam pandangan masyarakat, mahasiswa adalah kaum intelektual yang akan menjadi penerus generasi masyarakat baru yang lebih baik. Tetapi sayangnya cita-cita ideal tersebut menurut saya masih jauh dari harapan. Ini disebabkan karena pesatnya budaya hedon yang lepas kontrol di kalangan mahasiswa.
          Hal di atas misalnya dapat kita lihat dari kehidupan mahasiswa dewasa ini. Sebagian besar dari mereka lebih kental dengan gaya hidup yang cenderung glamor. Kalangan mahasiswa semacam ini terus berlomba mengikuti zaman tanpa memikirkan dampak yang akan memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Di perguruan tinggi, kelompok nongkrong dan kelompok karaoke kini lebih banyak daripada kelompok belajar. Bagi mereka yang terpenting adalah memikirkan kesenangan hidupnya secara pribadi, sehingga mahasiswa yang masih memiliki kepedulian akan tugas intelektual bisa dikatakan tergolong mahasiswa yang langka (limited edition).
          Sebenarnya sikap kritis mahasiswa bisa dikembangkan dari kegiatan-kegiatan kemahasiswaan itu sendiri, misalnya ikut memantau pelaksanaan kegiatan organisasi-organisasi yang ada di kampusnya. Dengan demikian jalannya kegiatan kemahasiswaan pun akan lebih terbuka dan terpantau. Selain itu, bisa pula memicu tumbuhnya sikap kritis mahasiswa lainnya sebagai bentuk interaksi sosial dari lingkungan kemahasiswaannya tersebut.
          Mengapa mahasiswa yang menjadi titik persoalan kita? Karena mahasiswa dipercaya sebagai generasi yang akan memperbaiki segala bentuk kesalahan yang tengah terjadi di masyarakat. Selain itu, mahasiswa tengah (dan pada waktunya kelak akan selesai) menjalani serangkaian proses pendidikan, di mana pada masa-masa itu mereka telah dibekali dengan berbagai disiplin keilmuan untuk diaplikasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
          Dalam sejarah, Indonesia mencatat bahwa mahasiswa sebagai generasi pembangun konstruksi intelektual telah banyak berperan dalam perubahan masyarakat. Pada 20 Mei 1908 semasa terjadinya kolonialisasi Belanda misalnya, masyarakat Indonesia mengalami keterpurukan, terutama alam berpikir yang telah diserang secara laten oleh pihak Belanda. Mahasiswa STOVIA (Sekolah tinggi kedokteran) sebagai generasi intelektual pada saat itu terpanggil untuk mengadakan pergerakan-pergerakan sebagai cara membangun pola pikir masyarakat Indonesia supaya lebih baik. Hingga akhirnya terbentuklah manifestasi pemikiran para pemuda yakni Boedi Oetomo.
          Dalam perjalanan selanjutnya, setelah sekian lama mendapatkan kemerdekaan, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian masa pemerintahan. Pada setiap masa pemerintahan tersebut, mahasiswa tercatat banyak ikut andil memikirkan nasib bangsa sebagai bentuk kesadaran kritisnya. Puncaknya terjadi ketika berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama (1966) dan Orde Baru (1998). Mahasiswa melakukan pergerakan-pergerakan sebagai respon atas situasi kehidupan bangsa yang kacau. Banyak yang menjadi korban, tetapi semuanya tentulah tidak sia-sia. Paling tidak, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terlihat jauh lebih baik dari sebelum adanya pergerakan para mahasiswa tersebut.
          SIKAP KRITIS MAHASISWA
          Sebagai bentuk dari sikap kritis, sudah seharusnya mahasiswa berkata “tidak” terhadap segala bentuk penyelewengan (kesalahan) yang ada di masyarakat atau dalam lingkungan kemahasiswaannya. Sikap kritis tersebut sudah sepatutnya untuk direalisasikan ketika penyelewengan ditemukan dalam kehidupan, baik di lingkungan masyarakat ataupun lingkungan kemahasiswaannya itu sendiri.
          Tentu saja semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang etis dan  manusiawi. Selama masih ada cara yang lebih efektif, maka sebagai kaum terpelajar mahasiswa tidak perlu mengidentikkan sikap kritisnya dengan melakukan long march ke jalan-jalan dengan mengibarkan spanduk dan poster-poster yang berisi kecaman. Sehingga kesannya lebih akrab dengan pentungan aparat keamanan, dan akhirnya kericuhan yang tak terelakkan.
          Dewasa ini banyak cara yang lebih efektif yang bisa dilakukan mahasiswa dalam rangka merealisasikan sikap kritisnya, semisal mengemukakan pemikiran-pemikirannya melalui media massa atau yang lainnya. Tindakan long march merupakan suatu puncak yang harus dilakukan ketika keadaan memang telah mendesak. Ini pun harus disertai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran. Jangan sampai melakukan long march hanya dikarenakan adanya pihak yang membiayai dan akhirnya mengakibatkan suatu polemik baru yang bisa melunturkan kebenaran dan kejujuran itu sendiri.
          Dalam roman tetralogi “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil, sudah sejak dalam pikirannya, apalagi perbuatannya”. Menyikapi pernyataan Pram tentang identitas keterpelajaran tersebut kiranya benar-benar menjadi semacam pedoman penting yang mengarah pada dasar-dasar pemikiran tentang keterpelajaran itu sendiri.
          Jika pada saatnya seorang mahasiswa harus mengambil sikap kritis atas situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya, maka ia harus mampu berpikir kembali tentang sikapnya tersebut, apakah sikap kritisnya sudah adil, atau tidak. Sebab jika mengkritisi begitu saja, itu sama artinya dengan bertindak konyol dan melunturkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
          Sikap adil yang dimaksud Pram juga bisa dijadikan motivasi untuk berpikir dan bertindak ketika mahasiswa tidak peduli dengan situasi-situasi di lingkungannya. Apakah dengan sikap ketidakpedulian itu mahasiswa telah bersikap adil atau tidak? Semuanya tergantung bagaimana individu-individu mahasiswa menyikapi keterpelajaran dan keintelektualannya itu sendiri. Sebab pada kenyataannya mahasiswa itu adalah generasi penerus kehidupan bangsa di masa yang akan datang, apakah ia benar-benar seorang intelektual, terpelajar, atau hanya sebatas pemegang kartu tanda mahasiswa saja.
          Mahasiswa yang telah menjadi bagian dari identitas terpelajar di Negeri ini harus berpikir kembali tentang identitasnya tersebut, apalagi ditambah dengan embel-embel gelar intelektual yang cenderung memberi penghargaan tanpa sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebab pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa mencerminkan sikap terpelajarnya, apalagi keintelektualannya.
          Sebagai seorang terpelajar, mahasiswa cenderung dituntut untuk menjadi harapan masa depan yang lebih baik. Keadaan mahasiswa saat ini bisa menjadi acuan situasi bangsa di masa yang akan datang. Meskipun kurang adil rasanya jika harus menilai masa depan dari satu sisi situasi generasi penerusnya, sebab pada sebagian orang kemungkinan untuk berubah tetap ada. Tetapi memang rasanya tidak salah juga untuk memprediksi situasi masa depan dari dasar-dasar situasi generasi penerusnya di masa kini. Semuanya hanya pertaruhan kemungkinan tentang cita-cita dan situasi pendukungnya. Terlepas dari semua itu, mahasiswa di masa sekarang tetap akan menjadi pengisi kehidupan bangsa di masa yang akan datang.
          Jika saat ini mahasiswa terus terbuai dengan pola lingkungan yang menyuguhkan hedonisasi kehidupan, maka sikap kritis bukan hanya akan menjadi sesuatu yang langka, tetapi bisa benar-benar menjauh dan tiada. Itu artinya kehidupan akan terus memaksa para mahasiswa tersebut untuk terus terjerumus di kedalaman gaya hedonisme yang bar-bar dan serampangan.
          Langkanya sikap kritis di kalangan mahasiswa adalah salah satu problematika di kalangan generasi penerus bangsa. Lalu mengapa sekarang sikap kritis menjadi sesuatu yang langka di kalangan mahasiswa? Bisa jadi banyak hal yang membuat sikap kritis di kalangan mahasiswa menjadi sesuatu yang langka, salah satunya adalah faktor lingkungan, atau suasana perguruan tinggi (perkuliahan) yang cenderung menghasilkan mahasiswa-mahasiswa pasif, korban mode atau korban zaman. Akibatnya segala bentuk penyelewengan yang ada terus subur dan terpelihara. Lebih bahayanya lagi jika mahasiswa telah dengan mudah didomplengi kaum-kaum yang berusaha membudidayakan penyelewengan. Tentu hal itu telah melunturkan segala bentuk intelektualitas keterpalajaran mahasiswa itu sendiri.
          Dibandingkan dengan sekian masa ke belakang, saat ini telah banyak perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah.  Itu artinya saat ini mahasiswa telah begitu banyak jumlahnya. Jika semua mahasiswa tersebut mempunyai dan memanfaatkan sikap kritisnya dalam kehidupan sehari-hari,  maka perubahan kehidupan sosial Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang, bukan menjadi sesuatu hal yang berpeluang kecil dan tidak mungkin.
          Bravo mahasiswa!(*)

  







*Arinda Risa Kamal