Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Minggu, 28 Desember 2014

Beberapa Sajak 2012-2013

Gigil Hujan Desember


barangkali pada lentik mata itulah akhirnya aku menyerah
untuk tidak mengatakan apapun padamu, sedang aku sendiri
tidak pernah benar-benar mengingat untuk keberapa kalinya
kita disergap gigil hujan dan kecemasan, barangkali sembilan,
barangkali sebanyak datangnya kesepian. bahkan di kemudian
yang kesekian pun ia hanya menyalapadamkan keyakinan
dan kerapuhan-kerapuhan yang pernah kita miliki,
dan untuk tidak mengungkapkan apapun.

tapi pada buku-buku yang menyimpan berbagai peristiwa
kita genap, kemudian kenyataan, sebagaimana ia hadir untuk
dipertanyakan, semakin membuat kita merasa ganjil pada hidup
yang ternyata hanyalah kekosongan-kekosongan kita sendiri.
lantas keinginan, selalu datang dan menawarkan berbagai
kemungkinan, meski pada waktu di mana kita merasa sangsi
dan sendirian. Sri, seandainya hujan adalah tuhan yang datang
dengan berbagai kesenangan, barangkali kita tidak akan pernah
benar-benar merasa kesepian. tapi betapa menyedihkannya
hujan yang kita miliki di sepanjang Desemeber ini, berulang kali
hanya menahan kita pada kemurungan yang sama,
dan pada akhirnya, menyergap kita dengan berbagai kekosongan,
dan masih, hanya untuk tidak mengungkapkan apapun.
selain gigil dan basah hujan. selain kesepian.



2012-2013





Yang Menyergapku Bukanlah Sepi


yang menyergapku bukanlah sepi,
bukan pula kembara yang abadi.

telah berulang kali kutulis namamu
sebagai bahasa tubuh yang sesal,
namun ingatanku menahannya dari
setiap pecahan masa silam, selalu.
walaupun setiap kali hujan turun
dan menawarkan kenangan akan
basah dadamu, lekuk perempuan
yang menggenapkan kesedihan,
badanku terus gigil dan ketakutan.
entah apa sebabnya. barangkali adalah
rambutmu yang hitam ikal, dan kekal
di mataku, lantas semakin membuat
semua bayang-bayangmu riskan untuk
kujadikan muasal sajak-sajakku.

begitulah kesedihanku,
bukanlah aku yang menghindar
dari namamu, tapi adalah ia,
bahasa baru yang liar dan sendiri,
yang dikekalkan sepi
dari setiap bayangmu,

dari setiap kegagalan sajak-sajakku.




2013

*Dok

Sabtu, 21 Juni 2014

Puisi tentang Cirebon



Yang Kita Lupakan di Caruban1


siapapun bisa saja pergi ke tempat
yang tidak pernah menjadi bayangannya.
tempat mana saja. tempat asing lagi jauh,
atau tempat yang pernah dikenalnya
sebagai nama, sebagai tempat
yang sesekali dilewati dan tersinggahi.

setiap tempat memang menyuguhkan
kekhasannya sendiri. tapi barangkali
tidak semua tempat akan mengulangkan
peristiwa yang sama, kekakuan perasaan
yang muncul tiba-tiba.

kita sepakat bahwa sejak silam
kehidupan telah mengajarkan
kesadaran manusia bahwa nasiblah
susunan ketidakterdugaan itu,
hadiah tuhan paling berharga
yang sekaligus pula paling semu.

begitulah, sebab meskipun seseorang
merencanakan hidupnya, ia tetap
tidak bisa menjinakkan waktu.
semakin ia bersikeras melawan waktu,
semakin bermunculanlah hal-hal baru
yang tabu dalam setiap bayangan
nasibnya.

seperti halnya malam itu,
ketika jelmaan seekor naga
memainkan perannya,
seorang laki-laki dan perempuan
yang belum sekalipun bertemu
duduk di aspal jalan, menyaksikan
pertunjukan si naga yang kental.

naga itu berputar, meloncat dan riang.
barangkali seriang Lie Ong Tien2
ketika pertama kali datang ke sini,
membawa nasibnya untuk tak pernah
pulang lagi, untuk semakin menyesalkan
keangkuhan seorang Hong Gie3.

tapi si naga tahu bahwa kedatangannya
harus menjadi bagian kegembiraan
dari lantunan riwayat angin utara.

naga pun terus meloncat diiringi
nayaga3. segenap penonton bersorak,
namun lanskap kota terus terkoyak,
mengasingkan carita pustaka wangsa4
dari setiap ingatan masa kanak.
tapi sejarah tak akan berhenti
melukiskan dirinya, sekalipun
di atas kaca yang mudah retak.

kini kewajaran telah tumbuh
bersama hasrat modernomaniak,
kota pun berdiri menjadi kerajaan
yang galak. namun bagaimanapun,
kesejahteraan kian membuat siapa
dan apa saja menjadi jinak. lantas
untuk apa doa-doa perlawanan
jika hanya sebagai pengantar tidur
yang tak lagi membuat nyenyak.

itulah yang pada akhirnya mengungsikan
para pembangkang ke tanah-tanah bukit.
meninggalkan keraton serta elangnya5
sebagai kenangan juga igauan yang sakit. 

imajinasi kota ini telah mengalah,
meleburkan bentuknya bersama rapalan
setiap peziarah, menjelaskan bayangannya
pada gambar keramik, laju canting batik,
topeng yang pelik, dendang pesisiran
dangdanggula6 yang memekik.

di sini keyakinan serupa azimat paling
mustajab. sekali ragu, maka rapuhlah
segalanya. seperti mendungnya mega-mega
yang tak lagi jadi tolak bala−bukan hanya
karena keberadaannya yang hampir tak ada,
tapi musabab kehilangannya yang nyata.

mata laki-laki dan peremuan itu bertatapan,
saling menahan pertanyaan dan lekas
menghindar dari setiap jawaban. mereka
menjadi lakon dari setiap pertunjukan,
namun tak pernah ada dialog bagi keduanya.
nama-nama dibiarkannya menjadi isyarat
yang tak pernah terucap−sebab bagi mereka
pertemuan adalah jejak perpisahan itu sendiri;
seperti sajak yang akan dikenangkan,
untuk kemudian disirnakan kehilangan.

dalam diri masing-masing mereka berucap;
kapal-kapal tambat di dermaga, serupa kita
yang hanya singgah saja. tapi dari setiap kita
menyimpan ingatan yang lebih lekat dari
rapuhnya gudang-gudang tua tak bernama.
kita pun tahu bahwa kita tak akan disapa
siapa-siapa. kita juga ingat bahwa daun jati
dan wali lebih dulu menegaskan namanya
di sini, di setiap doa-doa yang sepi.

akhirnya mereka pun saling menimpal
ucapannya sendiri, pada dirinya sendiri;
barangkali di waktu-waktu kemudian
akan datang kepada kita serupa penyesalan.
sebagaimana kita lupa betapa berartinya
perkenalan, percakapan, pertemuan
dan perpisahan yang telah kita lupakan.
begitupun tentang bagaimana Caruban ini,
yang sedikit demi sedikit telah pula
kita lupakan.

nayaga terus memainkan temponya
Caruban melaju menuju nasibnya
dan sepasang mata yang satunya
untuk tidak terus menyesalinya
telah melupakan pasang mata lainnya
tapi tidak dalam sajaknya.



2013-2014


1Caruban: Asal mula nama Cirebon, sebuah daerah di pesisir utara Jawa Barat. Diambil dari penamaan dalam naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari” yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon.

2Lie Ong Tien: Putri China yang menjadi istri Sunan Gunung Jati.

3Hong Gie: Ayah dari Lie Ong Tien. Kaisar China di masa Dinasti Ming.

4Nayaga: Istilah Sunda dan Cirebon yang berarti orang atau sekelompok orang yang mempunyai keahlian memainkan alat musik gamelan.

5Elang: Nama gelar bangsawan Kesultanan Cirebon.


6Dangdanggula: Puisi lisan Cirebon yang menceritakan bagian pertama Babad (asal mula) Cirebon. Biasanya dinyanyikan dalam acara-acara tertentu dengan diiringi gamelan yang dimainkan nayaga.


*Termuat dalam Antologi "Fragmen Perjamuan" (Asas UPI. Bandung. 2014)

Jumat, 07 Februari 2014

Esai "Yang Tidak Sia-sia dari Sastra"

Yang Tidak Sia-sia dari Sastra

Oleh: Arinda Risa Kamal*


Politisi bisa saja menganggap sastra sebagai igauan belaka. Pengusaha, PNS, pegawai bank, petani, penambak udang, pedagang, buruh, pengangguran atau apresiator lain boleh juga menilai sastra sebagai keindahan hayalan saja. Meskipun akademisi dan praktisi sastra begitu teguh menganggap sastra sebagai obat, estetik bahasa, pemikiran, sari pati kehidupan, atau bahkan profesi, tapi siapapun tetap boleh berpikir apa saja tentang sastra. Ya, mengapa tidak? Bukankah hari ini sastra memang telah menjadi sesuatu yang semu dan ambigu?

Meskipun secara keilmuannya sastra telah mengukuhkan diri sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar definisi yang disepakati, tapi dalam kenyataan yang lainnya, sastra masih melulu diperdebatkan, terutama mengenai fungsi dan kesastraannya itu sendiri.

Semu dan ambigunya sastra kian kentara tatkala kita mulai bertanya sejauh manakah sastra mampu menopang kehidupan (di sekitar) kita? Seampuh apakah sastra mengatasi kejanggalan yang ada? Apakah sastra akan memakmurkan sebuah bangsa? Apakah yang disebut sastra? Atau, benarkah kita masih membutuhkan sastra?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya terasa menohok dan barangkali berlebihan. Tapi bagaimanapun sastra tidak akan pernah bisa kita hindarkan dari kehidupan. Sekalipun orang menganggap bahwa sastra adalah kesia-siaan−sebenarnya disadari ataupun tidak, pengakuan tersebut sekaligus pula telah mengakui keberadaan sastra bagi dirinya, meskipun sebatas sastra yang dangkal.

Sejak dahulu di tingkat Sekolah Menengah Pertama sastra telah diperkenalkan dan diajarkan kepada semua siswa. Begitupun di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tapi karena porsi, tujuan pembelajaran sastra rasa-rasanya tak ubahnya hanya sebatas pelajaran hafalan saja. Siswa hanya menghafal nama-nama sastrawan, analisis struktural, angkatan dan beberapa karya. Sedangkan karya-karya sastranya, luput dari pembacaan. Pengalaman bersastra inilah kiranya yang membuat sastra dan fungsinya terasa berjarak dengan kehidupan secara langsung.

Berkali-kali komunitas-komunitas sastra di hampir semua daerah mengadakan acara pembacaan karya sastra, diskusi dan sebagainya. Kegiatan semacam ini menjadi ruang pembelajaran sastra non formal. Namun kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah ruang yang benar-benar menjadikan apresiator mampu merasakan manfaat dan fungsi sastra secara mendalam.

Pada akhirnya kegiatan-kegiatan sastra dan barangkali sastra sendiri pun terkesan seperti euforia belaka. Perayaan, ya, seperti perayaan. Entah merayakan apa, barangkali benar merayakan sebuah keganjilan di tengah arus genapnya kehidupan yang mulai dipengaruhi banyak hal, terutama materiil.

Kita tidak akan pernah bisa mengerti seperti apa dan bagaimana sastra jika kita tidak pernah membacanya. Kita tidak akan merasakan apa-apa dari sastra tatkala kita hanya melihat sastra dari luar saja, dari acara-acara komunitas sastra saja. Kita pun akan merasa muak dengan sastra jika sastra yang kita baca adalah karya yang bukan sastrawi. Kita tidak akan mengerti mengapa novel-novel Pramoedya Ananta Toer diberangus penguasa orde baru jika kita tidak membacanya. Kita tidak akan paham mengapa puisi-puisi Wiji Thukul dan W.S. Rendra di masa menyambut reformasi dilarang untuk dibacakan di ruang publik jika kita tidak pernah mengetahui puisi-puisinya.

Sastra sebagai salah satu karya seni berfungsi menjadi media hiburan sekaligus media pembelajaran, atau dalam istilah Horatius yang seorang filsuf adalah dulce et utile. Tapi bagaimana kita bisa mengalami diri terhibur dan tercerahkan karena sastra jika kita tidak pernah membaca karya-karya sastra? Bagaimana kita bisa mengalami fungsi estetis, fungsi etis, fungsi didaktis dan fungsi reflektif dari sastra jika membaca yang benar-benar karya sastranya pun tidak?

Seorang sahabat Rasul pernah mengungkapkan, “Ajarkanlah sastra, agar ia menjadi seorang pemberani.” Sastra memang bukan hanya satu-satunya yang menjadikan seseorang pemberani. Tapi pendapat tersebut berdasar bahwa sastra akan lebih jauh dari itu. Sastra bisa membuat seseorang mengerti, berpikir dan menemukan ideologi. Seperti yang disepakati, bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu membuat pembacanya berpikir lebih mendalam karena isi sastrawinya.

Membaca karya sastra memang tidak akan membuat kita kaya raya, naik jabatan atau mengentaskan pengangguran. Tapi dengan membaca karya sastra yang baik, kita akan terus didorong untuk memahami dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun begitu, sastra selama tidak dibaca adalah benar sia-sia semata.

Dikarenakan hari ini karya sastra pop cenderung lebih banyak dan mudah ditemui daripada karya sastrawi, maka tentu, apresiator sastra yang baik adalah mereka yang selain membaca karya-karya sastra pop, juga membaca karya-karya sastrawi yang mampu memberikan banyak inspirasi.

Jika hari ini kehidupan telah membuat kita luput dari sastra, maka kita patut merenungkan apa yang diungkapkan Octavio Paz, seorang peraih penghargaan Nobel Sastra di tahun 1990. “Masyarakat yang meninggalkan puisi (sastra) adalah masyarakat yang tengah melakukan bunuh diri spiritual secara masal.” Jikapun hari ini kita terus merasa ragu atau bahkan antipati terhadap sastra, jangan-jangan selama ini kita telah salah membaca, dan itu artinya kita harus lebih banyak lagi membaca karya-karya sastra!(*)








*Arinda Risa Kamal, lulusan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
)*dok media

Senin, 09 Desember 2013

Dua Puisi tentang Kampung Halaman

Suatu Ketika di Kawali II
; Mengingat Kampung Halaman


aya ma nu nosi i gya Kawali ini
pakena kreta bener pakon
nanjor na juritan1,” tulis seseorang
pada batu, pada hidup yang ragu-ragu.

selalu kuingat benar tanah kelahiran
sebagai mimpi gagal, kekasih tempat
segala muasal.

kita telah sama-sama tahu
bahwa cinta memang tak mesti
diukur atau dikubur, meski degup
harus menemu nasib yang lapur.

Ibu, kerinduan akan rumah
kenangan dan kampung halaman,
barangkali adalah kesedihan lain
seorang pengembara, pelancong
yang menyesatkan dirinya
pada sesuatu yang mungkin tiada.

dalam dada ini, rumah, kenangan,
kampung halaman, harapan
dan semacanya adalah perasaan
yang sama-sama sulit diungkapkan.

semuanya telah berubah, Ibu.
kenyataan telah menjadi kampung
halaman yang berbeda. pohon-pohon
telah banyak tumbang, begitupun
dengan riwayat, sama-sama dikalahkan
peperangan. lantas kehidupan masih
saja digerakkan waktu dan kesangsian.

kini tak ada lagi yang bisa kita
banggakan dari tanah kelahiran.
tak, tak ada, Ibu. selain keinginan,
selain segala keterpaksaaan.

Ibu, banyak hal yang kerap menahanku
dari kepulangan, nama lain kepergian.
sebab itulah aku mengerti bahwa kita
tak akan pernah dilahirkan kembali,
apalagi jadi api, jadi batu tulis yang abadi.

tapi di sini, Ibu,
di tanah Linggawisesa yang lelap
ditimbun pusara dan bata, kemakmuran
dan keadilan sudah sama-sama fana.

lantas aku hendak percaya,
bahwa kita, pewaris darah raja-raja,
hanyalah peziarah yang sama.

“sebab, Ibu, kita hanya selalu
mencari dan membangun kerajaan
kita sendiri, seolah kita tak pernah
diwarisi apa-apa, dan seolah-olah
kita tak mesti mengingat siapa-siapa,”
ucap kaula terbata-bata.

ah, Kawali, kampung halaman
yang tak pernah kumiliki,
hantamlah dadaku kuat-kuat,
sekuat-kuatnya.

biar aku kembali, biar aku mengerti,
seperti apa rasanya memiliki.



2011-2013


1Tulisan prasasti II di Astana Gede Kawali, peninggalan Prabu Niskala Wastu Kencana (1371 M -1475 M) yang artinya: “Semoga ada yang menghuni Dayeuh Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.”







Kampung Halaman,
Nama Lain dari Kenangan


barangkali mesti begitu, Ambu,
bahwa bagi kaula,
seseorang yang terusir
dari muasalnya,
kampung halaman juga rumah
adalah kenangan.

tak lebih dari kenangan.

kemudian setiap kembara,
juga cinta, juga lantunan doa-doa,
selalu membuat kaula yakin
bahwa kaula harus beranjak
dari kenangan itu,
segala muasal itu.

tapi sungguh, Ambu,
sesekali kaula akan pulang,
sambil menangis,
barangkali sembari menulis
kerinduan yang jatuh
di setiap degupan getir itu.

Tak mesti bersedih, Ambu.
bukankah yang bersungguh
tak kenal kesedih juga ketakutan.
kesungguhan mengajarkan kita
bahwa kehilangan
hanyalah perasaan semata, bukan.

melankoli yang tak terduga.

Tuhan,
pada-Mu kaula titipkan
kampung halaman,
ambu dan kenangan.
hanya pada-Mu. hanya pada-Mu.
maka rawatlah, kutuklah.

paling tidak,
sebagaimana kaula mencintainya.


2013




*Dok media

Tentang Pemilukada Kabupaten Ciamis

Tentang Pemilukada Kabupaten Ciamis

oleh: Arinda Risa Kamal*


Menjelang akhir September ini Kabupaten Ciamis akan memilih kembali Bupati dan Wakil Bupati. Ada empat pasangan calon yang telah disahkan KPU, dan semuanya masih memilki peluang untuk menjadi pemenang, yakni pemimpin dan wakil pemimpin pemerintah Kabupaten Ciamis. Dari keempat calon tersebut tersiar adanya koalisi partai-partai besar, dan hanya satu calon saja yang berjuang dari non partai.

Sampai sekarang ini partai politik barangkali benar adalah kendaraan yang paling realistis untuk mengantarkan siapapun dalam mendapatkan banyak suara. Tapi itu semua bukan berarti yang maju dari independent hanya akan mendapatkan sia-sia semata. Sebab pada dasarnya, kecerdasan politik masyarakatlah yang akan menentukan siapa pemimpinnya.

Pemasangan spanduk, baliho atau sosialisasi lainnya telah gencar dilakukan jauh-jauh hari sebelum KPU menentukan siapa saja yang sah menjajal perjudian politik selanjutnya. Masyarakat Ciamis pun gegap gempita menyambut ruang-ruang pandangannya dijejali wajah-wajah para pasangan calon yang ‘selalu terlihat’ optimis untuk memimpin Kab. Ciamis.

Sudah barang tentu semua masyarakat Ciamis berharap bahwa siapapun yang terpilih nanti akan membawa perubahan yang baik dan kearifan yang tak hanya sekedar visi-misi yang basa-basi. Pasangan S yang menang nanti tidak akan hanya memerhatikan kesejahteraan daerah P yang notabenenya adalah penyumbang suara terbanyak. Masyarakat daerah R berharap bahwa pasangan B yang menjadi pemenang akan turut serta memerhatikan kesejahteraan daerah tersebut meski tidak menjadi basis suara pemenangan. Sebab bagi kami, masyarkat kecil yang baru belajar soal politik, Bupati dan Wakil Bupati Kab. Ciamis jelas adalah pejabat yang sekaligus pelayan publik bagi seluruh wilayah serta masyarakat Kab. Ciamis.

Berbagai isu panas sekitar pemilihan pasangan pemimpin Kab. Ciamis pun menyeruak berkali-kali. Dari mulai penentuan pasangan yang diusung partai, koalisi, strategi politik, bahkan keterlibatan masyarakat Pangandaran yang kini sudah terpisah dari Kab. Ciamis pun turut serta menjadi dinamika tersendiri politik di Ciamis.

Dalam politik sendiri, sudah lumrah bahwa setiap janji-janji tidak melulu mesti ditepati. Tentang janji apapun, untuk siapapun. Ketidakpastian setiap janji politisi memang adalah kepastian itu sendiri.

Kamis 5 September 2013 di sekitaran Taman Raflesia Ciamis nampak riuh dengan kampanye dan visi-misi politik. Visi-misi dari setiap pasangan calon nampak berbeda, tapi jika kita cermati bersama, semuanya sekaligus nampak sama. Seragam, seseragam hasrat dan militansi masing-masing tim sukses.

Kampanye yang digelar pihak KPU Kab. Ciamis itu benar-benar meriah, membuat setiap pasang mata yang melihatnya terengah-engah. Mobil-mobil mewah, pesta politik yang ‘terlihat’ pongah. Lantas seorang ibu yang duduk dan berdiam di dekat saya, yang tengah memegang sebuah wadah, yang pada saat itu tepat berada di depan jajaran kampanye pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, matanya berkaca-kaca, menyiratkan beberapa pertanyaan dalam benak saya. “Inikah pesta politik itu? Mengapa harus mewah dan megah? Mengapa begitu banyak mobil mewah? Apalah artinya pesta politik mewah dan megah bagi kalangan menengah ke bawah? Berapakah biaya yang dipakai untuk modal semuanya? Mengapa mereka sampai mau mengeluarkan uangnya? Apakah itu semua akan membuat daerah ini sejahtera ke depannya? Berapa banyakkah masyarakat yang susah tapi selalu pasrah? dan sebagainya, dan sebagainya.”

Elit politik di Kab. Ciamis tentu paham betul bagaimana situasi dan kadar politik masyarakat Kab. Ciamis. Kab. Ciamis sendiri terdiri dari daerah-daerah pedesaan, perbukitan, sawah-sawah, hutan dan pegunungan. Namun begitu, saya percaya bahwa masyarakat Ciamis adalah masyarakat yang cerdas dan berpendidikan soal politik. Masyarakat Ciamis tidak akan tergiur hanya karena janji-janji, kaos, uang sepuluh atau seratus ribu rupiah dan semacamnya.

Masyarakat tidak perlu antipati terhadap politik praktis, money politik atau segala macam iming-iming yang bisa dipergunakan untuk kesejahteraan dan kebaikan bersama. Meski dalam beberapa hal saya cenderung setuju bahwa kalau tidak akan memeberikan timbal balik, kita tidak perlu mengambil keuntungan yang ditawarkan. Tapi untuk urusan politik praktis yang memasyarakat ini, saya setuju jika masyarkat memanfaatkannya untuk kepentingan bersama. Kecuali praktik politik praktis yang menguntungkan diri sendiri atau golongan kecil saja, saya membencinya. Soal kerugian karena pada akhirnya tidak dipilih? Anggap saja bahwa itu semua adalah resiko politik seorang politisi.

Pemilukada di Kab. Ciamis mau tidak mau harus menghasilkan satu pasangan sebagai pemenang, tidak bisa dua, tiga atau empat. Harus hanya satu pasangan. Sebab jelas adalah persoalan jika pada akhirnya Pemilukada harus terjadi dua putaran, apakah itu disebabkan suara absatain atau tidak terpenuhinya suara pemenang. Persoalannya beragam, bukan hanya dari urusan anggaran, tapi dari segala hiruk-pikuk politik yang belum tentu akan menjadi sebuah perubahan.

Dalam benak saya, perubahan positif di Kab. Ciamis tidak hanya akan ditentukan oleh Bupati dan Wakil Bupati saja. Apakah itu Pasangan Bupati tua, muda, kaya, berpengalaman atau tidak. Tapi seluruh elemen pelaksana kehidupan di Kab. Ciamis. Baik itu Sekda, Pejabat daerah, dan tentu saja kita semua sebagai masyarakat. Masyarakat adalah kontrol sekaligus pelaksana kehidupan sosialnya. Yang perlu kita lakukan sebagai masyarakat adalah ikut serta menjadi bagian dari kontrol sosial sekaligus pelaksana kehidupan di Kab. Ciamis.

Masyarakat Kab. Ciamis perlu bersatu dan memegang teguh visi-misi yang lebih pasti dari para Calon Bupati dan Wakil Bupati serta para politisi. Masyarakat harus bersama-sama menuntut setiap kejanggalan yang terjadi dalam pemerintahan, sebab pada dasarnya, pemerintah adalah penentu kebijakan, dan masyarakat, adalah pemegang kedaulatan.

Siapapun yang terpilih nanti menjadi Bupati dan Wakil Bupati, kita sebagai masyarakat harus kembali memikirkan kepentingan bersama, yakni Kab. Ciamis yang kita cintai ini. Kita lepaskan semua atribut pasangan calon yang kita usung, kita bahu membahu menuntut visi-misi yang menjadi harapan kita semua. Kita akhiri segala macam bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan, nepotisme dan segala lobi-lobi serta upeti yang kerap kali menjadi potret isu di Ciamis ini.

Semoga Bupati dan Wakil Bupati yang terpilih nanti, Pejabat Pemerintahan serta masyarakat Kab. Ciamis bisa benar-benar bahu membahu membangun Ciamis yang kita cintai ini.

Selamat menjalankan demokrasi, selamat memilah dan memilih Pasangan Bupati. Selamat mempertanyakan nurani, selamat memperbaiki Ciamis yang kita cintai ini.



*Arinda Risa Kamal lahir dan besar di Ciamis. Lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

***Catatan: Judul telah saya ubah. Namun begitu, untuk isi masih sama seperti yang termuat di rubrik Opini Kabar Priangan.

Kamis, 20 Juni 2013

Puisi - Waraqah bin Naufal

Waraqah bin Naufal


Waraqah bin Naufal,
dengan gemetar
kuingat seorang bapak
dan sebatang lidi dalam uratku.

dari mulutnya
kukenal Rasul yang gigil,
Khadijah yang gelisah,
dan kau yang Nasrani.

sungguh, Waraqah,
demi Ia pemilik namus dan Musa,
demi gajah yang disergap ababil,
adalah ucapmu yang menjadikannya
tegak dan jinak. barangkali
sebagaimana pula Isa percaya
bahwa di Mekahlah Injil kelak patah,
dan Al-Maut kerap menahan tabah.

dan, Waraqah,

kuduslah segala pengakuanmu,
kuduslah sebagaimana wahyu-wahyu,

sebagaimana lidi itu kekal,

dalam uratku.



2013

Arinda Risa Kamal
(Dok. Media - Rev)


Kamis, 04 April 2013

Lomba Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (LBP-SST) Se - Jawa Barat 2013

Poster LBP SST 2013



LOMBA BACA PUISI SANGGAR SASTRA TASIK (LBP SST) SE-JAWA BARAT 2013


Setelah absen di tahun 2012, Sanggar Sastra Tasik (SST) kembali akan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2013 pada 10 - 12 Mei 2013 mendatang.di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) Jl. Lingkar Dadaha No. 18,5 - Kota Tasikmalaya.

TENTANG PERLOMBAAAN

Lomba terbuka untuk umum usia 17 tahun ke atas dengan persyaratan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.
Calon peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran, serta membayar biaya administrasi sebesar : Rp. 35.000,00
(tiga puluh lima ribu rupiah).

Waktu Pendaftaran yakni 1 April 2013 – 9 Mei 2013

Teknikal Meeting 9 Mei 2013 Jam : 14.00 WIB di Gedung Kesenian Tasikmalaya.

Untuk peserta yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang tercantum di bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran terdekat.

 TASIKMALAYA   :  Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SST) Jl. Argasari No. 22 - Kontak Person : Juni Zami (083826590088)

- CIAMIS                   :  Bapak Kidung Purnama (081320797616) SMA Negeri 1 Ciamis

- BANDUNG             :  Sdr. Zulkifli Songyanan (085659282090)  Area Studi dan Apresiasi Sastra-UPI (ASAS-UPI)
Semmi Ikra Anggara (081809663285)

- CIREBON                Wahyudi Yuli (085724556528) Komunitas Rumah Kertas.

- MAJALENGKA      Sdri. Diah Rosdiana, Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec. Panyingkiran, Kab. Majalengka (081222155512)

- CIANJUR                :  Sdr. Ucup Waras (085793926998) Warung Sastra – Universitas Surya Kencana

- GARUT                    :  Nero Taofik Abdillah (081323460864) Komunitas Ngejah
                                        Didi Rahman Photography (Simpang tiga alun-alun Kec. Cibatu - Kontak : 085738446577 Ratna Ayu Budiarti)
                                        Fachroe (082121844927) Poss Theatron





“ LAGU BULAN MEI ”
ANTOLOGI PUISI LBP SST 2013

Pemilihan Materi Puisi : Saeful Badar
Setting & Layout : Sarabunis Mubarok
Hak Cipta dilindungi undang-undang
ada pada penyair masing-masing
© All rights reserved
Diperbanyak oleh Sanggar Sastra Tasik (SST)
Untuk kepentingan Lomba Baca Puisi Se-Jawa Barat
Tahun 2013 di Tasikmalaya




TEKNIS PERLOMBAAN

  •        Peserta memilih dua judul puisi yang telah disediakan panitia dalam bentuk Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh pada saat mendaftar/ Teknikal Meeting,
  •       Satu judul puisi dibacakan pada Babak Penyisihan, dan satu judul yang lainnya dibacakan pada Babak Final jika peserta bersangkutan berhasil masuk Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di Final, peserta hanya membacakan satu buah puisi yang berbeda.


Adapun puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain:

  1.  Hanna Fransisca PADA SUATU HARI
  2. Yusran Arifin GAUN BORDIR
  3.  Joko Pinurbo  KALVARI
  4. Taufiq Ismail  AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
  5. Rendra  DI MEJA MAKAN
  6. Sutardji Calzoum Bachri PARA PEMINUM
  7. Acep Zamzam Noor  LAGU BULAN MEI
  8. Sarabunis Mubarok TULISAN PADA PETA
  9. Irvan Mulyadie  PALESTINA, MELANGGAM LUKA
  10. Juni Zami AN AFTERNOON
  11. Juniarso Ridwan  LAUT MENDERA
  12. Syahreza Faisal DALEM CIKUNDUL
  13. Bode Riswandi  BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
  14. Nina Minareli LUKISAN LAUT
  15. Nazarudin Azhar NOCTURNO, 2
  16. Amang Berdaulat  PESTA TABUR BUNGA



Pengantar Lomba:
SEBUAH UPAYA MEMBUMIKAN PUISI

LOMBA Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap pelatihan baca puisi – sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis puisi, SST berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti ini.

Kami melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini. Betapa di tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang – tidak saja mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ketika tampil di atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat menarik.

Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya kepada pendengar atau penonton. 

Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat kontemplatif dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa jadi katup “alienasi” puisi dalam kehidupan masyarakat kita, perlahan namun pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin oleh kita semua.

Lewat Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan mencerahkan hati. Ah, semoga saja ini tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya. Demikian sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.     

Selamat berlomba. Merdeka! (*)

SANGGAR SASTRA TASIK (SST)






Hanna Fransisca

PADA SUATU HARI

Adakah nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu?
Telah kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi.
Sebelum burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya
pada tanah yang mengekalkan sepi.

Maka dengarkan suara hati sebelum pergi.
Sebab telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak
serta
para pemanggil angin. Lantaran embun
terlanjur jatuh menjadi batu, adalah cintaku
yang terus menunggu.

Kaulihat malaikat menuruni tangga langit,
di malam udara, membawa embun
dan menidurkan aku di sini. Pada suatu hari.
Menunggu hangat langkahmu
tiba di sini.

Pada suatu hari. Di pucuk bambu.
Dari sepi ke sunyi.
Dari angin ke bunyi.
Menyeru deru.
Sebutir debu.


Jakarta, Agustus 2011





Yusran Arifin

GAUN BORDIR

Seperti deru juki mimpimu berlari kencang sekali
Helai benang juga lembar nasibmu yang terang itu kau bentang
Dari tiang pikiran hingga ke tiang-tiang tak terbilang
Jumlahnya. Hidup adalah bentangan mimpi dan harapan-harapan
Suci, jeritmu dengan hati panas seperti mesin yang kehilangan minyak
Pelumas. Kau terus berlari mencelupi waktumu yang singkat itu
Dengan warna-warna pelangi. Tak juga kau berhenti

Masa depanmu adalah riuh pasar yang tak henti kau perlebar
Hingga kampung-kampung telah lama kau ratakan.Mirip barbar
Sebelah dari madrasah juga selasar dari mushola yang terbelah
Di hatimu, di samping rumah kontrakan itu  telah lama kau
Sewakan,  jadi tempat pelelangan. Segala yang ada dan kau punya
Kau jual-belikan dengan harga menyedihkan. Kau jual bordir
Muliamu.  Kau tukar gaun abadimu dengan kesementaraan


2013





Joko Pinurbo

KALVARI

Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang

Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.

Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
 berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”

Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa Negara, tanpa agama.

Hanya ia yang mendengar sekaratnya.

“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucercap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”

Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”


1998




Taufiq Ismail

AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam


1964





Rendra

DI MEJA MAKAN

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.

Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.

Dipeluknya duka erat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijar warna kesumba

Lelaki depannya mengisar hati
-          sudah lama.

Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang kuncinya
-          sudah lama.

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.

Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digenggam olehnya:
lelaki itu terhantar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.






Sutardji Calzoum Bachri

PARA PEMINUM

di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
dipuncak

mereka oleng
tapi mereka bilang
-kami takkan karam
dalam laut bulan-
mereka nyanyi-nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka

dipuncak
semuanya diam dan tersimpan


1976-1979





Acep Zamzam Noor

LAGU BULAN MEI

Bukit-bukit kembali menggeliat
Langit menanggalkan mantel tebalnya
Seperti perempuan yang terlentang di pantai
Mandi cahaya. Kuhirup birahi musim semi
Dari daun-daun dan rumputan baru
Kureguk anggur dari gelasmu yang penuh
Dan kita berada di hari lain
Di antara hari-hari yang memberat
Oleh muatan rindu

Aku membaca lagi
Buku-buku lama yang tertimbun salju
Kantuk dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan aku menemukan pir, apel dan jeruk segar
Dari bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan tanganku pada matahari
Yang menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat

Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok dengan riang
Menyirami rumpun bunga dan sayuran
Tangannya yang panjang bahkan mencapai
Altar gereja. Kulihat orang-orang berdoa
Dengan anjing-anjing mereka yang setia
Orang-orang bernyanyi dan berciuman
Seperti burung-burung merpati
Di bawah langit yang terang

Bersama sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
Kulewati puing-puing musim dingin
Seperti melewati hari kemarin yang kekal
Dari sekedar bercak merah di lehermu
Atau tumpahan anggur di lantai --
Namun kita akan tetap kehilangan juga
Seperti pohon yang ditinggalkan daun-daunnya
Ketika musim gugur tiba


1992




Sarabunis Mubarok

TULISAN PADA PETA
           
aku mencerap risau
di pantai-pantai di pulau-pulau
di selat-selat yang dihimpit hutan bakau
keringat nelayan masih mengasinkan lautan
saat hati orang-orang kehabisan garam

di kepal-kepal tangan di kecambah pikiran
di aliran darah anak-anak negeri yang deras
aku harus mencerap warna-warna kusam

mengapa negeri yang digurat kesuburan
membiakkan begitu banyak kambing hitam

gunung-gunung yang disandera di barat
sungai-sungai yang mengairmata di timur
kampung dan kota yang saling memburu
semua mengukir luka di tubuhku

lalu aku mencerap rahasia
di sulur-sulur cuaca dan hawa tropika
di senyum sejuk alam khatulistiwa
aku mencerap hasrat kembara
melebihi segala yang kasat mata

tapi di negeri yang sulit dibaca
minyak bagi remang adalah luka
haruskah aku menyulut api
meski membakar diri sendiri


2006






Juni Zami

AN AFTERNOON


Pada sepasang mata angsa
Kulihat senja yang terjaga
Di bibir telaga, seorang wanita
Mencelupkan sepasang kakinya
Sambil meraba beberapa bait
Sajak Lorca: tentang para pemanah
Yang buta. Souvenir asmara. Juga cinta
Yang mengenalkan kegembiraan
Dan rasa tunggara

Sementara di atas sebuah keletihan
Kuingat sepasang lesung pipimu
Hulu lahir juga arah hilir kematianku
Semakin sering kau tersenyum
Semakin kukenal kamar awal
Dan pembaringan yang kekal itu

Sebab keletihan, barangkali sebuah
Arloji yang dilingkarkan ibu dahulu
Pada pergelangan tanganku. Sejumlah
Peristiwa seperti juga namamu
Aku tuliskan. Semata agar bisa
Kukosongkan seluruh ruang dari
Ingatan

Seperti senja begitu juga tubuh seorang
Wanita buta yang perlahan-lahan malam
Sepasang angsa seperti juga hari-hari api
Dan kata-kata ketika bukit-bukit tenggelam


2011





Irvan Mulyadie

PALESTINA, MELANGGAM LUKA

………………….
Di balik mimpi, lukisan perang
Mengikis hati para pengungsi
Yang tergolek di tenda-tenda
Di sepanjang perbatasan kemanusiaan

Dengarlah desing peluru!
Saban hari, suaranya begitu parau
Dan aku ingat hari itu:
Anak-anak tak
kan bisa bernyanyi lagi
Mengeja peta dan shalawat
Yang setia melanggam luka

Kepada saban raungan mortar
Angin telah menasbihkan kematian
Di padang debu penuh sembilu
Hiruplah bau darah, asap mesiu!
Atau lihat sobekan daging yang terpanggang
Pada tubuh perempuan hamil muda

Di Ga
za, segala nampak sederhana
Genosida!
………………….
………………….
Ada sujud yang terhenti
Di hari Jumat penuh tragedi
Lalu malam merayakan kematian
Di lorong-lorong persembunyian
Ketika rudal ditembak
kan sembarang arah
Dan mendarat dalam buku-buku sejarah

Tapi tak
kan terbaca olehmu, anakku
Bagaimana bayi-bayi itu menemu ajal
Saat maut menyarangkan banyak peluru
Ke tanah suci yang dijanjikan

Ya, di sepanjang sungai Tig
ris
Beribu nyawa mengalirkan deras tangis


2009




Juniarso Ridwan

LAUT MENDERA

di laut ini tak ada tempat ombak mendarat,
cinta pun mengembara dengan sayap perkasa,
orang-orang menggapai karang, menorehkan kerinduan
dengan cipratan air. Ribuan perahu, dengan cahaya lilin,
mengelilingi pulau-pulau tak bernama:
mencari persinggahan.

nelayan segera mendayung waktu, mengarungi lengkung
langit, membelah perasaan untuk berbagi tempat
dan menebar jala di antara lelehan parfum.
Seperti sayur-mayur atau hasil bumi diperdagangkan,
kenikmatanpun menjadi barang
rebutan; dikemas dengan apik
sesuai hitungan selera.

kukitari gunung-gunung bersalju, sambil menunggu
sungai-sungai terbentuk dalam kepala,
menghanyutkan hutan belantara.
Lalu di palung lautlah ajal menunggu setiap orang
dengan penuh ramah: “selamat datang para undangan
yang patuh,” ujar serbuk sianida berbasa-basi.


1996






Syahreza Faisal

DALEM CIKUNDUL

dengan meninggalkan Sagalaherang --pondok tentram
tempat syamsi meretas kabut pagi setiap hari
ia merapikan keyakinan memilih menjadi petapa paling gigih lagi.
ia tak pernah mengira kelak menggurat silsilah kampung mukimnya
di ujung kota paling barat. di mana ia jatuhkan kakinya
di sanalah mengalir mata air pertama.

semai yang ia taburkan di sepanjang bantaran sungai
tumbuh dari hujan berkah dan suluran sumber Cikahuripan.
di mana segala binatang akan minum dari mulutnya
untuk melepas dahaga membasuh luka pula
yang didapati mereka  dari lebat rimba hutan.

ia menikahi istri dari kaum gaib semesta
dan mengutus ketiga anaknya agar bersemayam segera
ke tiap pundak dan gua gunung
: Suryakencana – sang penunggang kuda hitam bijaksana
Nyi Mas Kara yang memesona dan Andaka sang penangkal bala.
jadilah mereka selalu tersebut dalam tembang doa
terurai mesra dalam syair bujangga.

tapi kini ia tinggallah makam terkenang hanya sekadar ruap cendana
sisa jisimnya yang sesekali dibawa pembakaran pada selaka.
para penziarah mendaki ke atas 170 anak tangga
lewat ayat yang terucap sama banyaknya.

mereka menjadikan ia sekadar jembatan mustajab doa.
demi jodoh fana, demi pangkat belaka
dan demi muslihat nafsu lainnya saja.

ia terkubur seperti ingatan tentang bayi kota yang terlantar.
tiba-tiba suara ia berdenting pada rentang kawat kecapi
rajah yang ditembangkan suara parau lelaki tua
di atas sunyi purba pendapa kota.


2012





Bode Riswandi

BUAT ANNA POLITKOVSKAYA

Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata

Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana


2009





Amang Berdaulat

PESTA TABUR BUNGA

Seperti engkau yang bertengger di menara sana
Aku ingin mencatat kesaksian tiang bendera
Kemarahan puntung rokok
Tangis botol aqua
Ketika bisu pagar
Tak memuaskan slogan-slogan spanduk reformasi

Adalah ringkik michrophone yang mencak-mencak
Manakala debu kusi-kursi
Menceritakan sobekan arsip
Yang tertimbun dalam peti kemas meja sidang
Menjadi santapan kutu loncat
Dan sarang para kecoa
Di mana tikus-tikus
Merayakan pesta tabur bunga

Sementara semut-semut merapatkan barisan
Menyatroni kambing hitam pencuri gula-gula
Sambil menyeret cecurut
Yang kedapatan menimbun ransum

Jarum jam telah lupa akan arah angka-angkanya
Selagi hujan semburan ludah
Membanjiri perhelatan adu urat leher
Di mana setiap kursi
Memacu mulutnya hingga berbusa
Berebut seonggok racun
Yang disisakan ular beludak

Lalat-lalat malah berpesta
Menjilati luka segar anak toke

Yang tersisa kini
Tinggal bau dupa
Di mana asap kemenyan
Menggiring doa ke liang lahat


26 Desember 1998




Nazarudin Azhar

NOCTURNO, 2

dia, lelaki berjubah hujan
di negeri hijau kemalangan

seribu gang melingkar
rumah adalah rimba masing-masing
seorang gadis mengiris lengannya
mulutnya telah lama hilang
di dalam sebuah kerangkeng

dia lelaki berjubah hujan
dengan sisa seribu pelukan

"kau tahu, racun dalam nadi
limbah hitam dalam mimpi..."

gadis dengan separuh darah
hari-hari digelapkan
dalam sebuah kamar perkabungan

tak ada kisah cinta
atau lagu pop muntahan kesialan

di negeri ini mereka dipertautkan
oleh sepasang sayap
dan kelam


2011


   
  
Nina Minareli

LUKISAN LAUT

Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Minitipkan cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar

Arah mata angin, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening

Senja tenggelam, burung-burung hitam
Mengembarai sudut-sudut tabir warna musim

Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu