Gigil
Hujan Desember
barangkali
pada lentik mata itulah akhirnya aku menyerah
untuk
tidak mengatakan apapun padamu, sedang aku sendiri
tidak
pernah benar-benar mengingat untuk keberapa kalinya
kita
disergap gigil hujan dan kecemasan, barangkali sembilan,
barangkali
sebanyak datangnya kesepian. bahkan di kemudian
yang
kesekian pun ia hanya menyalapadamkan keyakinan
dan
kerapuhan-kerapuhan yang pernah kita miliki,
dan
untuk tidak mengungkapkan apapun.
tapi
pada buku-buku yang menyimpan berbagai peristiwa
kita
genap, kemudian kenyataan, sebagaimana ia hadir untuk
dipertanyakan,
semakin membuat kita merasa ganjil pada hidup
yang
ternyata hanyalah kekosongan-kekosongan kita sendiri.
lantas
keinginan, selalu datang dan menawarkan berbagai
kemungkinan,
meski pada waktu di mana kita merasa sangsi
dan
sendirian. Sri, seandainya hujan adalah tuhan yang datang
dengan
berbagai kesenangan, barangkali kita tidak akan pernah
benar-benar
merasa kesepian. tapi betapa menyedihkannya
hujan
yang kita miliki di sepanjang Desemeber ini, berulang kali
hanya
menahan kita pada kemurungan yang sama,
dan
pada akhirnya, menyergap kita dengan berbagai kekosongan,
dan
masih, hanya untuk tidak mengungkapkan apapun.
selain
gigil dan basah hujan. selain kesepian.
2012-2013
Yang Menyergapku Bukanlah Sepi
yang menyergapku bukanlah sepi,
bukan pula kembara yang abadi.
telah berulang kali kutulis namamu
sebagai bahasa tubuh yang sesal,
namun ingatanku menahannya dari
setiap pecahan masa silam, selalu.
walaupun setiap kali hujan turun
dan menawarkan kenangan akan
basah dadamu, lekuk perempuan
yang menggenapkan kesedihan,
badanku terus gigil dan ketakutan.
entah apa sebabnya. barangkali adalah
rambutmu yang hitam ikal, dan kekal
di mataku, lantas semakin membuat
semua bayang-bayangmu riskan untuk
kujadikan muasal sajak-sajakku.
begitulah kesedihanku,
bukanlah aku yang menghindar
dari namamu, tapi adalah ia,
bahasa baru yang liar dan sendiri,
yang dikekalkan sepi
dari setiap bayangmu,
dari setiap kegagalan sajak-sajakku.
2013
*Dok
*Dok