Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Minggu, 10 Februari 2013

Liputan dan Tanggapan dari Salah Satu Kegiatan di Tanah Kelahiran

GELAR BUDAYA PURNA KALA
Refleksi Akhir Tahun Seniman Ciamis

Jika selama ini kesenian masih dianggap sebagai milik para praktisi kesenian saja, lalu apa manfaatnya bagi masyarakat?
Ada berbagai alasan yang menjadikan kesenian selama ini seolah berjarak dengan masyarakat, baik itu dari praktisi kesenian, masyarakat, pemerintah, ataupun kesenian itu sendiri.
Kesenian sebagai salah satu bagian dari budaya tentu ada hubungannya dengan masyarakat. Selain sebagai hiburan, kesenian juga berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui kesenian masyarakat dapat membentuk pola pikirnya tentang berbagai hal, termasuk budaya dan kehidupan.
Di penghujung tahun 2011, generasi muda di Kecamatan Kawali menggagas sebuah kegiatan seni tradisi Sunda yang bertajuk "Gelar Budaya Purna Kala". Kegiatan ini diprakarsai oleh Pandu Radea, Rd. Ega Anggara Kautsar serta generasi-generasi muda di Kawali. Purna Kala yang dalam bahasa Sunda mempunyai arti menyempurnakan waktu, dipakai sebagai nama kegiatan yang memang digagas untuk menghayati, mensyukuri, sekaligus memberikan arti yang positif bagi peristiwa pergantian tahun itu sendiri. Selain itu, kegiatan yang memang sebagian besar diisi oleh acara-acara kesenian ini memiliki tujuan untuk memasyarakatkan seni, terutama seni-seni tradisi Sunda yang mulai dilupakan atau tergeser oleh sebuah arus budaya baru dari luar. Jika di sebagian daerah acara pergantian tahun lebih identik dengan euforia, suara-suara terompet, dentuman dan kilauan kembang api, musik-musik bising, atau kemolekan gadis-gadis dancer, maka Kawali menyuguhkan sesuatu yang berbeda, yakni kesenian tradisi, karnaval budaya, bahkan lomba mewarnai, khitanan masal, dan penganugerahan budaya pun masuk dalam rangkaian acara.
Kegiatan yang dilaksanakan dari pukul 09.00 sampai 00.30 dini hari ini (31 Desember 2011 sampai 01 Januari 2012) mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Bukan hanya dari masyarakat Kawali saja, bahkan se-Ciamis utara. Antusiasme masyarakat begitu terasa ketika mereka rela datang dari jauh, berdesak-desakan, dan menikmati setiap acara yang disajikan. 
"Kegiatan yang bertempat di Alun-alun Kecamatan Kawali ini, terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak dan partisipan, baik itu pemerintahan atau di luar pemerintahan," ujar Rd. Ega Anggara, ketua panitia. Rencananya kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan Kecamatan Kawali. Kawali yang selama ini dikenal dengan situs purbakala Astana Gede dan Kerajaan Galuhnya mencoba untuk menghidupkan kembali potensi-potensi kesenian, terutama kesenian tradisi Sunda yang selama ini kurang mendapat perhatian, atau bahkan mulai terlupakan masyarakatnya.
Acara pertama khitanan masal, kemudian lomba mewarnai untuk mengapresiasi bakat dari generasi-generasi penerus di Kawali. Selepas Dzuhur, kegiatan dilanjutkan dengan pembukaan dan pelepasan karnaval budaya yang dihadiri Wakil Bupati, Dandim, Koramil, dan beberapa pejabat lainnya. Karnaval budaya dimeriahkan oleh para peserta yang terdiri dari berbagi kalangan masyarakat. Wayang Landung yang dipergelarkan menjadi daya tarik tersendiri dalam karnaval ini. Karnaval ini sendiri digelar sebagai bentuk pengenalan seni-seni tradisi sekaligus silaturahmi bagi masyarakat dan para pengguna jalan.
Sesampainya di tujuan akhir karnaval, yakni panggung utama yang terletak di Alun-alun Kecamatan Kawali, semua peserta karnaval disuguhi penampilan pencak silat yang memukau dari kelompok silat Isbatul Husna, dari Kecamatan Panumbangan Kab. Ciamis. Kelompok silat yang telah berdiri sejak 1996 ini kini telah menjadi bagian kurikulum beberapa sekolah di Kecamatan Panumbangan, baik itu tingkat SMP ataupun SMA. Isbatul Husna sendiri memang sangat memprioritaskan generasi muda sebagai anggota kelompoknya. "Supaya mereka dapat mengenal dan melestarikan seni bela diri nenek moyangnya," ujar Neni, kordinator kelompok silat Isbatul Husna.
Sore harinya wayang landung yang telah dianggap sebagai salah satu seni tradisi di Kab. Ciamis kembali mempertunjukan keeksotisannya. Berbeda dengan penampilan-penampilan wayang landung sebelumnya, kini wayang yang memiliki ukuran setinggi 5 meter ini diduelkan. Setiap wayang ini memegang sesuatu yang menyerupai gada, dan ini dipakai sebagai senjata untuk mengalahkan lawannya. Acara ini ternyata mampu menyita perhatian dari masyarakat, bahkan beberapa masyarakat diperkenankan untuk ikut mencoba memainkan wayang raksaa ini. Pandu Radea sebagai pencipta seni wayang landung sendiri menjelaskan bahwa gelaran ini dinamai jogol landung. "Gelaran jogol landung memiliki filosofi hukum rimba, bahwa kita hidup di dunia ini sebenarnya harus mampu bertahan dari segala bentuk tantangan atau serangan, baik itu yang bersifat fisik, ataupun pemikiran," katanya.
Penghargaan
Menjelang malam hari acara dilanjutkan dengan longser wayang. Konsep dari longser wayang sendiri sebenarnya merupakan lawakan yang dikemas dalam bentuk perpaduan longser dan wayang. Ada tokoh lengser yang bertugas sebagai penata acara. Longser ini pun berdialog interaktif dengan para pemain sekaligus penonton. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi kejenuhan bagi penonton. Sebelum memasuki cerita wayang, longser wayang ini menampilkan kesenian-kesenian tradisi Sunda dari anak-anak SD dan SMP di Kawali. Ada "Sarining Ronggeng", "Dangding Patareman", dan "Kawih Panambih". Lagi-lagi, penonton dibuat terkagum-kagum akan bakat seni tradisi dari anak-anak seusia SD dan SMP.
Sarining Ronggeng sebagai seni tari yang mengadaptasi kesenian ronggeng ini mampu dimainkan secara piawai oleh gadis-gadis belia. Dangding Patareman merupakan banyolan anak-anak yang sudah jarang dimainkan. Penampilan Dangding Patareman nampak megah ketika tambahan gerakan serta vokal yang saling bersahutan menghiasi pertunjukan dari keluguan anak-anak. Selanjutnya penampilan Kawih Panambih. Kawih Panambih merupakan sekar irama yang dipadukan dengan penambahan rampak kecapi yang dimainkan oleh anak-anak. Penampilan-penampilan tersebut menjadi daya tarik dan kenikmatan tersendiri bagi para penonton.
Setelah itu wayang pun digelar. Pertunjukan wayang ini diperankan oleh manusia. Mereka yang menjadi wayang adalah para pelawak yang sudah mempunyai nama di Ciamis. Ada Mak Apay, Papa, Kancil dan Sablon. Lakon wayang ini bercerita tentang pemilihan lurah (pemimpin). Ani Sumarna sebagai dalang bercerita dengan sangat menghibur. Ia memainkan para pelawak senior sebagai keluarga Semar. Mak Apay sebagai istri Semar. Papa, Kancil dan Sablon berperan sebagai Cepot, Gareng dan Dewala. Semar yang diceritakan menjadi lurah berniat lengser sebelum dilengserkan oleh orang lain. Kemudian dilakukanlah pemilihan lurah (pemimpin) tersebut. Anak-anak dari semar semuanya sama-sama berambisi besar untuk duduk di kursi kepemimpinan menggantikan ayahnya. Mereka berkampanye, membujuk rakyat dan saling membanggakan akan kemampuan masing-masing. Bahkan seperti dalam panggung politik di negara kita, mereka hampir bertengkar, meski mereka sadar bahwa mereka adalah saudara.
Menjelang tengah malam panitia menyediakan sebuah kejutan bagi salah satu praktisi seni tradisi yang ada di Kab. Ciamis. Mak Apay, wanita berusia 67 tahun ini yang mungkin paling terkejut. Ia mendapat penganugerahan budaya dari pihak panitia sebagai maestro seni tradisi. Ini semua merupakan penghargaan atas kiprahnya dalam berkesenian. Ia berkesenian sejak usia 7 tahun, dan selama itu pulalah ia telah merambah berbagai genre seni tradisi, terutama yang berasal dari Kab. Ciamis.
Suasana haru tidak pula dirasakan panitia dan Mak Apay saja, masyarakat pun bersorak memberikan sambutan, malam itu seolah-olah mereka memahami perasaan Mak Apay yang larut dalam keharuan.
Ruwatan Purna Kala
Tengah malam ketika tiba saatnya mengganti tahun 2011 dengan tahun baru 2012, ruwatan purna kala pun digelar. Ini merupakan acara puncak dari seluruh rangkaian acara. Satu orang panitia ditugasi untuk membawa obor kecil dan memanjat tiang dari bambu yang di atasnya telah tersedia obor besar, dan sesampainya di atas, obor tersebut pun dinyalakan. Ini sebagai suatu simbol refleksi kehidupan, yang artinya bahwa kita harus berjuang untuk meraih harapan baru yang lebih baik di masa yang akan datang, meski di masa sekarang kita hanya berbekal sesuatu yang kecil.
Masyarakat paham bahwa saat itu mereka telah menginjak waktu yang baru, dan setelah obor besar menyala, mereka ada yang merenung, menikmati dentuman suara-suara lodong karbit yang telah disediakan panitia. Tak sedikit dari masyarakat yang langsung memeriahkannya dengan suara-suara klakson kendaraan, terompet atau bahkan kembang api yang telah dianggap sebagai identitas pergantian tahun selama ini.
Refleksi dari setiap rangkaian acara nampaknya tertangkap di hati setiap individu yang datang saat itu. Bukan hanya sekedar terhibur, mereka seolah telah menuntaskan kerinduannya akan seni tradisi yang selama ini memang sulit untuk dikenali. Bagaimana tidak, kini setiap hajatan lebih terbiasa dengan orkes-orkes atau sejenisnya. Padahal dahulu, seni tradisi semacam ini menjadi kebanggaan si empunya hajat ketika mampu menampilkan kesenian semacam ini dalam hajatannya. Keberlangsungan itulah sebenarnya yang menghidupi para seniman tradisi, sehingga seni tradisi hidup sebagai sebuah kebanggan masyarakat.
Kegiatan semacam ini pada dasarnya menjadi batu loncatan akan kelangsungan seni tradisi dan hubungannya dengan masyarakat. Masyarakat bisa mengenal kembali seni-seni tradisi yang telah diwariskan leluhurnya, dan para seniman tradisi bisa kembali mengobati kebahagiaan perjuangan berkesenian yang selama ini memang susah diperjuangkan.

Jika saja pemerintah cepat tanggap, secara tidak langsung kegiatan ini telah menjadi simbol bahwa masyarakat memang merindukan gelaran seni tradisi nenek moyangnya. Mudah-mudahan setelah kegiatan Gelar Budaya Purna Kala ini, seni tradisi kembali hidup di tengah-tengah masyarakat, baik itu dihidupkan oleh hajatan-hajatan masyarakat, ataupun pemerintahan, amin.***




Arinda Risa Kamal. Lahir dan besar di Kawali. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST), Teater 28, dan Beranda 57.





Gelaran berbagai kesenian tradisi dalam acara yang bertajuk “Gelar Budaya Purna Kala” di Alun-alun Kec. Kawali, Kab. Ciamis, Sabtu (31/12/11) hingga memasuki pergantian tahun 2012. Kegiatan ini disambut antusias oleh masyarakat di Ciamis utara. Tampak dalam gambar, tarian “Sarining Ronggeng” yang disajikan oleh siswi SMP N 1 Kawali, pagelaran wayang landung, dan Mak Apay (kiri), salah seorang seniman kahot Ciamis yang mendapat penghargaan dari panitia Gelar Budaya Purna Kala. Kegiatan semacam ini diharapkan menjadi agenda tahunan pemerintah Kec. Kawali, Kab. Ciamis


(Kabar Priangan, 04 Januari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar