Mahasiswa Sebagai Generasi Intelektual
oleh,
Arinda Risa Kamal*
Predikat generasi
intelektual yang disandang oleh mahasiswa merupakan sesuatu yang harus
dipertanggungjawabkan. Sebagai generasi intelektual sudah sepatutnyalah
mahasiswa lebih berpikir dalam setiap tindak-tanduknya, terutama dalam hal-hal
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosialnya.
SOE Hoek Gie dalam
catatan hariannya, Senin, 14 Januari 1963 mengungkapkan, “Bidang seorang
sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di
segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang
karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi
mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung
jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus
berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya.”
(Soe Hoek Gie. Catatan Seorang Demonstran - 2008:110-111).
Ungkapan Soe Hok Gie di atas membuat
kita berpikir kembali tentang tingkah laku kehidupan mahasiswa yang banyak
mengalami perubahan sekarang ini. Padahal mahasiswa mempunyai peranan
penting dalam tatanan sosial (masyarakat). Banyak hal yang bisa dilakukan
mahasiswa untuk memenuhi peranannya dalam masyarakat, di antaranya melakukan
pemantauan (monitoring) jalannya kehidupan masyarakat secara umum, baik
itu pemerintahan ataupun hajat hidup sipil lainnya. Hal ini dilakukan demi
terciptanya perbaikan kehidupan masyarakat yang seimbang di masa datang.
Jika
melihat fungsi mahasiswa sebagai seorang pemantau, maka mahasiswa harus mampu
memasrahkan hidupnya demi cita dan perjuangan yang mulia. Bersikap jujur atas
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekitar masyarakatnya serta terus
mengemukakan kesadaran kritisnya demi perubahan tatanan kehidupan yang lebih
baik.
Sikap
kritis adalah bentuk ungkapan dari kesadaran kritis yang terbentuk karena kepekaan
seseorang terhadap sesuatu. Maka dari itu sikap kritis bagi mahasiswa merupakan
hal penting. Sebab dalam pandangan masyarakat, mahasiswa adalah kaum
intelektual yang akan menjadi penerus generasi masyarakat baru yang lebih baik.
Tetapi sayangnya cita-cita ideal tersebut menurut saya masih jauh dari harapan.
Ini disebabkan karena pesatnya budaya hedon yang lepas kontrol di kalangan
mahasiswa.
Hal
di atas misalnya dapat kita lihat dari kehidupan mahasiswa dewasa ini. Sebagian
besar dari mereka lebih kental dengan gaya hidup yang cenderung glamor.
Kalangan mahasiswa semacam ini terus berlomba mengikuti zaman tanpa memikirkan dampak yang akan memengaruhi kehidupan mereka
selanjutnya. Di perguruan tinggi, kelompok nongkrong dan kelompok karaoke kini
lebih banyak daripada kelompok belajar. Bagi mereka yang terpenting adalah
memikirkan kesenangan hidupnya secara pribadi, sehingga mahasiswa yang masih
memiliki kepedulian akan tugas intelektual bisa dikatakan tergolong mahasiswa
yang langka (limited edition).
Sebenarnya
sikap kritis mahasiswa bisa dikembangkan dari kegiatan-kegiatan kemahasiswaan
itu sendiri, misalnya ikut memantau pelaksanaan kegiatan organisasi-organisasi
yang ada di kampusnya. Dengan demikian jalannya kegiatan kemahasiswaan pun akan
lebih terbuka dan terpantau. Selain itu, bisa pula memicu tumbuhnya sikap
kritis mahasiswa lainnya sebagai bentuk interaksi sosial dari lingkungan
kemahasiswaannya tersebut.
Mengapa
mahasiswa yang menjadi titik persoalan kita? Karena mahasiswa dipercaya sebagai
generasi yang akan memperbaiki segala bentuk kesalahan yang tengah terjadi di
masyarakat. Selain itu, mahasiswa tengah (dan pada waktunya kelak akan selesai)
menjalani serangkaian proses pendidikan, di mana pada masa-masa itu mereka
telah dibekali dengan berbagai disiplin keilmuan untuk diaplikasikan dalam
kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
Dalam
sejarah, Indonesia mencatat bahwa mahasiswa sebagai generasi pembangun
konstruksi intelektual telah banyak berperan dalam perubahan masyarakat. Pada
20 Mei 1908 semasa terjadinya kolonialisasi Belanda misalnya, masyarakat
Indonesia mengalami keterpurukan, terutama alam berpikir yang telah diserang
secara laten oleh pihak Belanda. Mahasiswa STOVIA (Sekolah tinggi kedokteran)
sebagai generasi intelektual pada saat itu terpanggil untuk mengadakan
pergerakan-pergerakan sebagai cara membangun pola pikir masyarakat Indonesia
supaya lebih baik. Hingga akhirnya terbentuklah manifestasi pemikiran para
pemuda yakni Boedi Oetomo.
Dalam
perjalanan selanjutnya, setelah sekian lama mendapatkan kemerdekaan, Indonesia
telah mengalami beberapa kali pergantian masa pemerintahan. Pada setiap masa
pemerintahan tersebut, mahasiswa tercatat banyak ikut andil memikirkan nasib
bangsa sebagai bentuk kesadaran kritisnya. Puncaknya terjadi ketika berakhirnya
masa pemerintahan Orde Lama (1966) dan Orde Baru (1998). Mahasiswa melakukan
pergerakan-pergerakan sebagai respon atas situasi kehidupan bangsa yang kacau.
Banyak yang menjadi korban, tetapi semuanya tentulah tidak sia-sia. Paling
tidak, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terlihat jauh lebih baik
dari sebelum adanya pergerakan para mahasiswa tersebut.
SIKAP
KRITIS MAHASISWA
Sebagai
bentuk dari sikap kritis, sudah seharusnya mahasiswa berkata “tidak” terhadap
segala bentuk penyelewengan (kesalahan) yang ada di masyarakat atau dalam
lingkungan kemahasiswaannya. Sikap kritis tersebut sudah sepatutnya untuk
direalisasikan ketika penyelewengan ditemukan dalam kehidupan, baik di lingkungan
masyarakat ataupun lingkungan kemahasiswaannya itu sendiri.
Tentu
saja semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang etis dan manusiawi. Selama masih ada cara yang lebih
efektif, maka sebagai kaum terpelajar mahasiswa tidak perlu mengidentikkan sikap
kritisnya dengan melakukan long march ke jalan-jalan dengan mengibarkan
spanduk dan poster-poster yang berisi kecaman. Sehingga kesannya lebih akrab
dengan pentungan aparat keamanan, dan akhirnya kericuhan yang tak terelakkan.
Dewasa
ini banyak cara yang lebih efektif yang bisa dilakukan mahasiswa dalam rangka
merealisasikan sikap kritisnya, semisal mengemukakan pemikiran-pemikirannya
melalui media massa atau yang lainnya. Tindakan long march merupakan
suatu puncak yang harus dilakukan ketika keadaan memang telah mendesak. Ini pun
harus disertai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran. Jangan sampai
melakukan long march hanya dikarenakan adanya pihak yang membiayai dan
akhirnya mengakibatkan suatu polemik baru yang bisa melunturkan kebenaran dan
kejujuran itu sendiri.
Dalam
roman tetralogi “Bumi Manusia”,
Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, “Seorang
terpelajar harus juga berlaku adil, sudah sejak dalam pikirannya, apalagi
perbuatannya”. Menyikapi pernyataan Pram tentang identitas keterpelajaran
tersebut kiranya benar-benar menjadi semacam pedoman penting yang mengarah pada
dasar-dasar pemikiran tentang keterpelajaran itu sendiri.
Jika
pada saatnya seorang mahasiswa harus mengambil sikap kritis atas
situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya, maka ia harus mampu berpikir
kembali tentang sikapnya tersebut, apakah sikap kritisnya sudah adil, atau
tidak. Sebab jika mengkritisi begitu saja, itu sama artinya dengan bertindak
konyol dan melunturkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Sikap
adil yang dimaksud Pram juga bisa dijadikan motivasi untuk berpikir dan
bertindak ketika mahasiswa tidak peduli dengan situasi-situasi di lingkungannya.
Apakah dengan sikap ketidakpedulian itu mahasiswa telah bersikap adil atau
tidak? Semuanya tergantung bagaimana individu-individu mahasiswa menyikapi keterpelajaran
dan keintelektualannya itu sendiri. Sebab pada kenyataannya mahasiswa itu
adalah generasi penerus kehidupan bangsa di masa yang akan datang, apakah ia
benar-benar seorang intelektual, terpelajar, atau hanya sebatas pemegang kartu
tanda mahasiswa saja.
Mahasiswa
yang telah menjadi bagian dari identitas terpelajar di Negeri ini harus
berpikir kembali tentang identitasnya tersebut, apalagi ditambah dengan
embel-embel gelar intelektual yang cenderung memberi penghargaan tanpa sesuatu
yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebab pada kenyataannya, tidak
semua mahasiswa mencerminkan sikap terpelajarnya, apalagi keintelektualannya.
Sebagai
seorang terpelajar, mahasiswa cenderung dituntut untuk menjadi harapan masa
depan yang lebih baik. Keadaan mahasiswa saat ini bisa menjadi acuan situasi
bangsa di masa yang akan datang. Meskipun kurang adil rasanya jika harus
menilai masa depan dari satu sisi situasi generasi penerusnya, sebab pada
sebagian orang kemungkinan untuk berubah tetap ada. Tetapi memang rasanya tidak
salah juga untuk memprediksi situasi masa depan dari dasar-dasar situasi
generasi penerusnya di masa kini. Semuanya hanya pertaruhan kemungkinan tentang
cita-cita dan situasi pendukungnya. Terlepas dari semua itu, mahasiswa di masa
sekarang tetap akan menjadi pengisi kehidupan bangsa di masa yang akan datang.
Jika
saat ini mahasiswa terus terbuai dengan pola lingkungan yang menyuguhkan
hedonisasi kehidupan, maka sikap kritis bukan hanya akan menjadi sesuatu yang
langka, tetapi bisa benar-benar menjauh dan tiada. Itu artinya kehidupan akan
terus memaksa para mahasiswa tersebut untuk terus terjerumus di kedalaman gaya
hedonisme yang bar-bar dan serampangan.
Langkanya
sikap kritis di kalangan mahasiswa adalah salah satu problematika di kalangan
generasi penerus bangsa. Lalu mengapa sekarang sikap kritis menjadi sesuatu
yang langka di kalangan mahasiswa? Bisa jadi banyak hal yang membuat sikap
kritis di kalangan mahasiswa menjadi sesuatu yang langka, salah satunya adalah
faktor lingkungan, atau suasana perguruan tinggi (perkuliahan) yang cenderung
menghasilkan mahasiswa-mahasiswa pasif, korban mode atau korban zaman.
Akibatnya segala bentuk penyelewengan yang ada terus subur dan terpelihara.
Lebih bahayanya lagi jika mahasiswa telah dengan mudah didomplengi kaum-kaum
yang berusaha membudidayakan penyelewengan. Tentu hal itu telah melunturkan
segala bentuk intelektualitas keterpalajaran mahasiswa itu sendiri.
Dibandingkan
dengan sekian masa ke belakang, saat ini telah banyak perguruan tinggi yang
tersebar di berbagai daerah. Itu artinya
saat ini mahasiswa telah begitu banyak jumlahnya. Jika semua mahasiswa tersebut
mempunyai dan memanfaatkan sikap kritisnya dalam kehidupan sehari-hari, maka perubahan kehidupan sosial Indonesia
yang lebih baik di masa yang akan datang, bukan menjadi sesuatu hal yang
berpeluang kecil dan tidak mungkin.
Bravo mahasiswa!(*)
*Arinda
Risa Kamal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar