Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Sabtu, 09 Februari 2013

Esai Kemahasiswaan


Mahasiswa Sebagai Generasi Intelektual
oleh,  Arinda Risa Kamal*

Predikat generasi intelektual yang disandang oleh mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagai generasi intelektual sudah sepatutnyalah mahasiswa lebih berpikir dalam setiap tindak-tanduknya, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosialnya.

SOE Hoek Gie dalam catatan hariannya, Senin, 14 Januari 1963 mengungkapkan, “Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya.” (Soe Hoek Gie. Catatan Seorang Demonstran - 2008:110-111).
          Ungkapan Soe Hok Gie di atas membuat kita berpikir kembali tentang tingkah laku kehidupan mahasiswa yang banyak mengalami perubahan sekarang ini. Padahal mahasiswa mempunyai peranan penting dalam tatanan sosial (masyarakat). Banyak hal yang bisa dilakukan mahasiswa untuk memenuhi peranannya dalam masyarakat, di antaranya melakukan pemantauan (monitoring) jalannya kehidupan masyarakat secara umum, baik itu pemerintahan ataupun hajat hidup sipil lainnya. Hal ini dilakukan demi terciptanya perbaikan kehidupan masyarakat yang seimbang di masa datang.
          Jika melihat fungsi mahasiswa sebagai seorang pemantau, maka mahasiswa harus mampu memasrahkan hidupnya demi cita dan perjuangan yang mulia. Bersikap jujur atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekitar masyarakatnya serta terus mengemukakan kesadaran kritisnya demi perubahan tatanan kehidupan yang lebih baik.
          Sikap kritis adalah bentuk ungkapan dari kesadaran kritis yang terbentuk karena kepekaan seseorang terhadap sesuatu. Maka dari itu sikap kritis bagi mahasiswa merupakan hal penting. Sebab dalam pandangan masyarakat, mahasiswa adalah kaum intelektual yang akan menjadi penerus generasi masyarakat baru yang lebih baik. Tetapi sayangnya cita-cita ideal tersebut menurut saya masih jauh dari harapan. Ini disebabkan karena pesatnya budaya hedon yang lepas kontrol di kalangan mahasiswa.
          Hal di atas misalnya dapat kita lihat dari kehidupan mahasiswa dewasa ini. Sebagian besar dari mereka lebih kental dengan gaya hidup yang cenderung glamor. Kalangan mahasiswa semacam ini terus berlomba mengikuti zaman tanpa memikirkan dampak yang akan memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Di perguruan tinggi, kelompok nongkrong dan kelompok karaoke kini lebih banyak daripada kelompok belajar. Bagi mereka yang terpenting adalah memikirkan kesenangan hidupnya secara pribadi, sehingga mahasiswa yang masih memiliki kepedulian akan tugas intelektual bisa dikatakan tergolong mahasiswa yang langka (limited edition).
          Sebenarnya sikap kritis mahasiswa bisa dikembangkan dari kegiatan-kegiatan kemahasiswaan itu sendiri, misalnya ikut memantau pelaksanaan kegiatan organisasi-organisasi yang ada di kampusnya. Dengan demikian jalannya kegiatan kemahasiswaan pun akan lebih terbuka dan terpantau. Selain itu, bisa pula memicu tumbuhnya sikap kritis mahasiswa lainnya sebagai bentuk interaksi sosial dari lingkungan kemahasiswaannya tersebut.
          Mengapa mahasiswa yang menjadi titik persoalan kita? Karena mahasiswa dipercaya sebagai generasi yang akan memperbaiki segala bentuk kesalahan yang tengah terjadi di masyarakat. Selain itu, mahasiswa tengah (dan pada waktunya kelak akan selesai) menjalani serangkaian proses pendidikan, di mana pada masa-masa itu mereka telah dibekali dengan berbagai disiplin keilmuan untuk diaplikasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
          Dalam sejarah, Indonesia mencatat bahwa mahasiswa sebagai generasi pembangun konstruksi intelektual telah banyak berperan dalam perubahan masyarakat. Pada 20 Mei 1908 semasa terjadinya kolonialisasi Belanda misalnya, masyarakat Indonesia mengalami keterpurukan, terutama alam berpikir yang telah diserang secara laten oleh pihak Belanda. Mahasiswa STOVIA (Sekolah tinggi kedokteran) sebagai generasi intelektual pada saat itu terpanggil untuk mengadakan pergerakan-pergerakan sebagai cara membangun pola pikir masyarakat Indonesia supaya lebih baik. Hingga akhirnya terbentuklah manifestasi pemikiran para pemuda yakni Boedi Oetomo.
          Dalam perjalanan selanjutnya, setelah sekian lama mendapatkan kemerdekaan, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian masa pemerintahan. Pada setiap masa pemerintahan tersebut, mahasiswa tercatat banyak ikut andil memikirkan nasib bangsa sebagai bentuk kesadaran kritisnya. Puncaknya terjadi ketika berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama (1966) dan Orde Baru (1998). Mahasiswa melakukan pergerakan-pergerakan sebagai respon atas situasi kehidupan bangsa yang kacau. Banyak yang menjadi korban, tetapi semuanya tentulah tidak sia-sia. Paling tidak, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terlihat jauh lebih baik dari sebelum adanya pergerakan para mahasiswa tersebut.
          SIKAP KRITIS MAHASISWA
          Sebagai bentuk dari sikap kritis, sudah seharusnya mahasiswa berkata “tidak” terhadap segala bentuk penyelewengan (kesalahan) yang ada di masyarakat atau dalam lingkungan kemahasiswaannya. Sikap kritis tersebut sudah sepatutnya untuk direalisasikan ketika penyelewengan ditemukan dalam kehidupan, baik di lingkungan masyarakat ataupun lingkungan kemahasiswaannya itu sendiri.
          Tentu saja semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang etis dan  manusiawi. Selama masih ada cara yang lebih efektif, maka sebagai kaum terpelajar mahasiswa tidak perlu mengidentikkan sikap kritisnya dengan melakukan long march ke jalan-jalan dengan mengibarkan spanduk dan poster-poster yang berisi kecaman. Sehingga kesannya lebih akrab dengan pentungan aparat keamanan, dan akhirnya kericuhan yang tak terelakkan.
          Dewasa ini banyak cara yang lebih efektif yang bisa dilakukan mahasiswa dalam rangka merealisasikan sikap kritisnya, semisal mengemukakan pemikiran-pemikirannya melalui media massa atau yang lainnya. Tindakan long march merupakan suatu puncak yang harus dilakukan ketika keadaan memang telah mendesak. Ini pun harus disertai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran. Jangan sampai melakukan long march hanya dikarenakan adanya pihak yang membiayai dan akhirnya mengakibatkan suatu polemik baru yang bisa melunturkan kebenaran dan kejujuran itu sendiri.
          Dalam roman tetralogi “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil, sudah sejak dalam pikirannya, apalagi perbuatannya”. Menyikapi pernyataan Pram tentang identitas keterpelajaran tersebut kiranya benar-benar menjadi semacam pedoman penting yang mengarah pada dasar-dasar pemikiran tentang keterpelajaran itu sendiri.
          Jika pada saatnya seorang mahasiswa harus mengambil sikap kritis atas situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya, maka ia harus mampu berpikir kembali tentang sikapnya tersebut, apakah sikap kritisnya sudah adil, atau tidak. Sebab jika mengkritisi begitu saja, itu sama artinya dengan bertindak konyol dan melunturkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
          Sikap adil yang dimaksud Pram juga bisa dijadikan motivasi untuk berpikir dan bertindak ketika mahasiswa tidak peduli dengan situasi-situasi di lingkungannya. Apakah dengan sikap ketidakpedulian itu mahasiswa telah bersikap adil atau tidak? Semuanya tergantung bagaimana individu-individu mahasiswa menyikapi keterpelajaran dan keintelektualannya itu sendiri. Sebab pada kenyataannya mahasiswa itu adalah generasi penerus kehidupan bangsa di masa yang akan datang, apakah ia benar-benar seorang intelektual, terpelajar, atau hanya sebatas pemegang kartu tanda mahasiswa saja.
          Mahasiswa yang telah menjadi bagian dari identitas terpelajar di Negeri ini harus berpikir kembali tentang identitasnya tersebut, apalagi ditambah dengan embel-embel gelar intelektual yang cenderung memberi penghargaan tanpa sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebab pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa mencerminkan sikap terpelajarnya, apalagi keintelektualannya.
          Sebagai seorang terpelajar, mahasiswa cenderung dituntut untuk menjadi harapan masa depan yang lebih baik. Keadaan mahasiswa saat ini bisa menjadi acuan situasi bangsa di masa yang akan datang. Meskipun kurang adil rasanya jika harus menilai masa depan dari satu sisi situasi generasi penerusnya, sebab pada sebagian orang kemungkinan untuk berubah tetap ada. Tetapi memang rasanya tidak salah juga untuk memprediksi situasi masa depan dari dasar-dasar situasi generasi penerusnya di masa kini. Semuanya hanya pertaruhan kemungkinan tentang cita-cita dan situasi pendukungnya. Terlepas dari semua itu, mahasiswa di masa sekarang tetap akan menjadi pengisi kehidupan bangsa di masa yang akan datang.
          Jika saat ini mahasiswa terus terbuai dengan pola lingkungan yang menyuguhkan hedonisasi kehidupan, maka sikap kritis bukan hanya akan menjadi sesuatu yang langka, tetapi bisa benar-benar menjauh dan tiada. Itu artinya kehidupan akan terus memaksa para mahasiswa tersebut untuk terus terjerumus di kedalaman gaya hedonisme yang bar-bar dan serampangan.
          Langkanya sikap kritis di kalangan mahasiswa adalah salah satu problematika di kalangan generasi penerus bangsa. Lalu mengapa sekarang sikap kritis menjadi sesuatu yang langka di kalangan mahasiswa? Bisa jadi banyak hal yang membuat sikap kritis di kalangan mahasiswa menjadi sesuatu yang langka, salah satunya adalah faktor lingkungan, atau suasana perguruan tinggi (perkuliahan) yang cenderung menghasilkan mahasiswa-mahasiswa pasif, korban mode atau korban zaman. Akibatnya segala bentuk penyelewengan yang ada terus subur dan terpelihara. Lebih bahayanya lagi jika mahasiswa telah dengan mudah didomplengi kaum-kaum yang berusaha membudidayakan penyelewengan. Tentu hal itu telah melunturkan segala bentuk intelektualitas keterpalajaran mahasiswa itu sendiri.
          Dibandingkan dengan sekian masa ke belakang, saat ini telah banyak perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah.  Itu artinya saat ini mahasiswa telah begitu banyak jumlahnya. Jika semua mahasiswa tersebut mempunyai dan memanfaatkan sikap kritisnya dalam kehidupan sehari-hari,  maka perubahan kehidupan sosial Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang, bukan menjadi sesuatu hal yang berpeluang kecil dan tidak mungkin.
          Bravo mahasiswa!(*)

  







*Arinda Risa Kamal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar