Nyanyian
Senandika
di Dua Puluh
September
setelah
kelahiran, ari-ari dikubur
bersama
doa-doa dan harapan.
tanah
mana yang dapat
menumbuhsuburkan
riwayat,
menafsir
nasib, atau menjanjikan
sesuatu
yang kekal.
ketika dua puluh matahari terakhir
disemai
di kedalaman raga yang tak juga
menjamin
apa-apa, dari mata seorang ibu,
aku
pergi menyusuri september yang melepuh.
cahayanya
mengaburkan apa yang menjadi
pandangan,
dan apa yang mesti dilakukan.
sementara itu berkali-kali
sementara itu berkali-kali
aku
teringat kematian,
jampi-jampi
dan tuhan.
sekejap
kemudian, tiba-tiba
aku
merasa kembali dilahirkan.
dari
surga, dari neraka.
dari
rahim ibu yang baka.
tapi
demi kita yang tak kekal,
hari
ini aku masih mencoba
untuk
menghapal peristiwa,
nama-nama,
dan yang lekat dengan usia.
menyimpan
dan melupakan. mengerang,
menerjang
kepedihan dan kebahagiaan,
dari
segala sunyi, segala yang kerap ramai.
wahai
ibu, bapak,
derita
dunia yang durjana.
pada
hari inilah kelahiran
sekaligus
kematian
selalu
bersenggama di kepalaku,
mengumbar
nafsu,
lalu
mengandung kembali
kehidupan
yang baru.
meski sungguh, ibu, bapak.
bukan
hendakku menjadi pengembara,
pemuja
segala nestapa, sebab kini
musim
penghujan, basah dedaunan,
atau
nama lain dari kegembiraan
yang
kusayangi itu, tiba-tiba asing,
serupa
hari-hari yang dingin,
bahkan
sampai di balik dada pun,
usia
masih menjelma pergolakan panjang.
sebagai
riwayat yang dituliskan,
dan
hidup yang selalu dipertanyakan.
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar