Sore Hari di Sebuah Kota
sore itu,
ketika langit tengah memendam
kemarahan bumi, aku melihat
seisi kota seperti kekalahanku sendiri.
lampu-lampu menyala begitu sedih,
sedang seseorang dengan mata sayu
dan bibir tipis yang kemerahan, masih
saja iseng sendiri dengan nyanyiannya
yang murung, yang kesepian di tengah
ramai arus pilkada, pemilu yang entah
akan menguntungkan siapa.
suara kecilnya yang berat membentur
spanduk-spanduk dan label toko asing,
mengekalkan sajaknya pada botol cola,
nokia,
serta layar datar di plaza-plaza.
dari lehernya yang lurus dan ditumbuhi
bulu-bulu yang juga halus, aku mencium
bau anak-anak lapar, pengangguran,
serta ledakan amarah para demonstran
yang kerap turun persis di dalam pikiran
dan dadaku yang tengah terhimpit
nominal harga-harga.
biar.
biarlah langit sore ini terus saja mendung,
biarlah aku terus merasa dingin,
sendirian dan sangsi akan keriangan.
sebab seperti juga engkau, aku masih
menunggu malam, menunggui hujan
yang membasuh seluruh isi kota,
segenap dada yang berduka.
wahai perempuan yang di lehernya
tertanam seribu tiga ratus lima puluh tujuh
wewangian, tulislah ihwal perjuangan
dan kesia-siaan yang menapaki dirinya
di atas perasaan-perasaan janggal.
lantas jika memang di kemudian hari
bulan tertulis atas nama matahari,
gegas karamkanlah segala dukaku,
segala keriangan yang terus tumbuh
di kotaku; tiga ciuman saja,
di bawah leher kananmu itu.
2012
Mata
dalam Kaca
hanyalah
mata yang selama ini
menahan
tatap pada bayang kaca.
kemudian
selalu ada dorongan
di
kedua tangan kita yang tiba-tiba
merapikan
rambut, atau apa saja
yang
bisa dirapikan. kadang ia
menambah
warna, bau berbagai
nama,
tuhan pada harga celana,
surga
di lipatan kemeja.
mata
itu pula yang mengingat jelas
siapa
kita dalam bayangan, pantulan
cahaya
dari sebuah kaca yang enggan
disalahkan,
ataupun dibenarkan.
barangkali
hanya semacam keinginan,
kesedihan
dan kenyataan yang
terlanjur
mengelak dari kenyataan,
untuk
tidak menjadi siapa-siapa, dan
sama
halnya dengan tidak menjadi
apa-apa.
dan betapa sia-sia semuanya.
di
hadapan sebuah kaca
yang
menyimpan cahaya, kutatap kita
dengan
mata yang bertanya-tanya.
siapa
mata kita. dan mana kepala
yang
selama ini menopang nama-nama.
hanyalah
dada, yang selama ini kita lipat
untuk
tidak memberi jawaban apa-apa.
dan
demi mata dalam kaca, kembalikanlah
bayangan
kami dari tubuhnya, dari tatap
matanya,
dari dada dan sajak-sajak
yang
telah kehilangan penulisnya.
sekalipun
sia-sia,
dan
tak menjawab apa-apa.
2013
Kabar Priangan, 6 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar