Kepada H
I/
Hampir berjam-jam kita memecah kerinduan
Hingga pada akhirnya
segelas air
Mulai
berbicara banyak tentang waktu
Yang telah gagal kita baca
Dalam bahasa yang tidak kita pahami
Hujan menjelma kerikuhan, mengendap
Bersama cucuran keringat di lehermu
II/
Katup matamulah isyarat itu
Tentang gelisahnya hari-hari
Tentang kita yang bosan pada segala
Yang ada dan tiada
III/
Setelah tatapmu yang diisyaratkan
Di
samping rumah itu, jalanan pulang
Mendadak
bergelombang, bercabang
Dan
tak bisa kukenali lagi keloknya
Tetapi dari rambut di keningmu itu
Aku menemukan kemesraan yang tajam
Kuat, menjadi penunjuk arah kepulanganku
Sepanjang jalan rerumputan masih basah
Setia
menyimpan hujan yang telah lama reda
Seperti potret yang kau titipkan padaku
Masih setia
menyimpan lengkung bibir mesra itu
IV/
Tapi sekarang,
Setelah lama kau sembunyi daripadaku
Semuanya dingin, dan nyaris tak terbaca lagi
Kesunyian
Masing-masing1
;
Mutiara Arum Kirana Suci
“kini
aku mulai melukis lamunan
pura-pura mendaki dan bepergian
menulis
senja yang hujan
dan
meninggalkannya dalam ingatan”
seperti
gelombang panjang yang tertahan
pada
gigil musim dingin. dari kelopak
matamu,
sembilan belas kucing betina loncat
dan
mengekang kegelisahan yang lindap
di
sepanjang jalan pulang. seketika
sepuluh
purnama redup dari pantulan
selat
Bosphorus; langit menghitam,
bacaan
menjadi kelam,
lalu
kita mulai bingung pada kematian
(daun
maple kesenjaan terkulai perlahan,
berguguran,
lalu singgah diam-diam
dalam
lukisanmu, dalam tanah airmu)
:
seperti kesunyian yang selalu kau pertanyakan,
perjamuan
yang kau perbincangkan,
atau
perjalanan yang kau kisahkan
(di
peron stasiun orang-orang masih menyimpan
pertemuan
dan perpisahan. di jalan-jalan
orang tetap sibuk membakar mimpi,
menyulam
waktu, lalu menjadi palsu)
:
kau hendak berbagi nasib yang sedemikian itu,
mencatat
peristiwa, lalu berontak sebelum tahu
bahwa
mati tinggal satu degupan lagi,
dan
hidup, sudah bukan fana lagi
sedang demi surga, demi neraka yang baka
sesungguhnya
kita tidak pernah bisa dipaksa
dan
memaksakan, sebab nasib,
masih terus
berupa kesunyian masing-masing1
2011
1dari puisi “Pemberian
Tahu- Chairil Anwar”
Di
Plaza, Aku Teringat Diana
kita
telah berhenti dari segala nurani,
dari
segala yang belum pernah kita ketahui
“mengapa
malam ini hujan begitu deras,”
tanyamu.
sementara orang-orang terus lelap,
sama-sama
membakar usia
lalu gunung-gunung akan basah,
kembali
menjadi ibu bagi sawah dan ladang
tetapi
kota-kota besar terus tumbuh di atasnya,
di
antara perih kita yang kian menganga,
kemudian tertinggal di plaza-plaza
kita percaya bahwa sedari dahulu
orang-orang
telah berteriak,
mengepalkan
tangan pada Izrail,
melempari
gedung-gedung beton,
menjejali
ruang-ruang tahanan,
meludahi
hakim di pengadilan,
dan
menjual nama-nama tuhan
Diana,
ingatanmu terasing di gemerlap kota
mengembara
jauh pada wajah seorang bapak
yang
terancam sawahnya, pada ketinggian
gunung
yang gundul lahannya
; lalu tersesat di cakrawala
Diana, suatu hari gunung-gunung
itu
akan
runtuh menimpa dada kita,
menghimpit
kenangan di desa-desa
lantas
kita kaku dan hanya bisa bertanya;
“kenapa
orang-orang masih bisa merebahkan
kepala,
dan terus memasuki dunia yang papa?”
Diana,
bagi kita hujan masih serupa tombak
yang
menusuki ubun-ubun. sementara dada ini,
semakin
disesaki plaza-plaza
Surat
untuk Diana
jika
esok kau menemukan jasadku,
maka
semayamkanlah segalanya,
sedalam
ingatanmu
telah
kupilih engkau dengan segala kegetiran
yang
selama ini pecah di kepalaku. bersama
suara-suara
asing, tuduhan yang selalu
menjadi
kematian bagi anak-anak. dan ketika itu,
ketika bulat matamu menyusun dan
menyimpan
sendiri tangis-tangis kelaparan, ketidakpercayaan
nyanyian
pengkhianatan, aku tengah tersesat
di
dalam kepalaku sendiri.
sementara
kau masih terus berjalan,
mencari
namaku dari spanduk ke spanduk,
dari
lampu ke lampu, dari bengisnya penguasa
ke
penguasa, dan terus menyusuri kota demi kota.
tetapi
apa yang kau temukan, selain janji-janji
yang
disucikan, dirapalkan, dan dipalsukan.
oh,
Diana yang malang, aku begitu ingin
mengingatmu
sebagai seorang kekasih,
sebagai
rindu yang tumbuh dari keasingan.
tetapi
apa dayaku, tawa anak-anak itu masih serupa
dentuman
yang kuat di setiap hentakkan jantungku.
dan
kota-kota itu, penguasa-penguasa itu,
lampu-lampu
itu, spanduk-spanduk itu, tak pernah
berhenti
menujumku, mengejar kematianku.
Diana,
aku
masih mengingat ketika kau tatapkan mata itu,
kau
kecupkan bibir itu, dan kau belaikan tangan itu.
semuanya
abadi sebagai gejolak perlawanan kita,
sebagai
perjuangan yang sia-sia. ah, Diana, mengapa
harus
kita yang mengepalkan tangan, mengapa harus
kita
yang menumbuh dan membinasakan kenangan.
Diana,
anak-anak itu akan mengingat kita,
sebagai
kenangan, sebagai mainan.
dan
jika esok kau temukan jasadku,
maka
semayamkanlah segalanya,
sedalam
ingatanmu.
2011
Diana dan Pasar Lama
Diana, ketika sebenarnya kita
telah tersesat dan kehilangan,
maka kita harus mencari,
menemukan dan kembali
entah mengapa setelah plaza dan market
kini sama-sama saling bermunculan
dengan kabar yang menggembirakan,
aku justru merasa semakin ketakutan
Diana, pinjamkanlah dadamu sebentar saja,
sebagai
jalan pulang, pengganti pasar lama
sebab, Diana, karena hanya dengan dadamulah,
aku mampu merasakan kembali keberanian
kenapa sajakku selalu sendu?
BalasHapusdan kenapa sajakku selalu tentangmu?
seperti mengukir kenangan, mengabadikan di sudut-sudut gelap hatiku, sementara di lain sisi hatiku berusaha kuat untuk menghapus jejakmu.
barangkali hanya semacam keinginan yang terhempas dari kenyataan, lantas perasaan, mengukuhkannya sebagai sebuah luapan, yang dituliskan ataupun tak.
BalasHapus