Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)

Sekali berarti - Sesudah itu mati (CA)
Yang Muda Yang Berlari

Senin, 04 Maret 2013

Puisi Arinda Risa Kamal (Pecahan Masa Silam)


Kepada H


I/         
Hampir berjam-jam kita memecah kerinduan
Hingga pada akhirnya segelas air
Mulai berbicara banyak tentang waktu
Yang telah gagal kita baca

Dalam bahasa yang tidak kita pahami
Hujan menjelma kerikuhan, mengendap
Bersama cucuran keringat di lehermu

II/
Katup matamulah isyarat itu
Tentang gelisahnya hari-hari
Tentang kita yang bosan pada segala
Yang ada dan tiada

III/
Setelah tatapmu yang diisyaratkan
Di samping rumah itu, jalanan pulang
Mendadak bergelombang, bercabang
Dan tak bisa kukenali lagi keloknya
Tetapi dari rambut di keningmu itu
Aku menemukan kemesraan yang tajam
Kuat, menjadi penunjuk arah kepulanganku

Sepanjang jalan rerumputan masih basah
Setia menyimpan hujan yang telah lama reda
Seperti potret yang kau titipkan padaku
Masih setia menyimpan lengkung bibir mesra itu

IV/
Tapi sekarang,
Setelah lama kau sembunyi daripadaku
Semuanya dingin, dan nyaris tak terbaca lagi



2011









Kesunyian Masing-masing1
                                                           ; Mutiara Arum Kirana Suci


kini aku mulai melukis lamunan
pura-pura mendaki dan bepergian
menulis senja yang hujan
dan meninggalkannya dalam ingatan

seperti gelombang panjang yang tertahan
pada gigil musim dingin. dari kelopak
matamu, sembilan belas kucing betina loncat
dan mengekang kegelisahan yang lindap
di sepanjang jalan pulang. seketika
sepuluh purnama redup dari pantulan
selat Bosphorus; langit menghitam,
bacaan menjadi kelam,
lalu kita mulai bingung pada kematian

(daun maple kesenjaan terkulai perlahan,
berguguran, lalu singgah diam-diam
dalam lukisanmu, dalam tanah airmu)
: seperti kesunyian yang selalu kau pertanyakan,
perjamuan yang kau perbincangkan,
atau perjalanan yang kau kisahkan

(di peron stasiun orang-orang masih menyimpan
pertemuan dan perpisahan. di jalan-jalan
orang tetap sibuk membakar mimpi,
menyulam waktu, lalu menjadi palsu)
: kau hendak berbagi nasib yang sedemikian itu,
mencatat peristiwa, lalu berontak sebelum tahu
bahwa mati tinggal satu degupan lagi,
dan hidup, sudah bukan fana lagi

sedang demi surga, demi neraka yang baka
sesungguhnya kita tidak pernah bisa dipaksa
dan memaksakan, sebab nasib, masih terus
berupa kesunyian masing-masing1





2011
1dari puisi Pemberian Tahu- Chairil Anwar











Di Plaza, Aku Teringat Diana


kita telah berhenti dari segala nurani,
dari segala yang belum pernah kita ketahui

“mengapa malam ini hujan begitu deras,
tanyamu. sementara orang-orang terus lelap,
sama-sama membakar usia

lalu gunung-gunung akan basah,
kembali menjadi ibu bagi sawah dan ladang
tetapi kota-kota besar terus tumbuh di atasnya,
di antara perih kita yang kian menganga,
kemudian tertinggal di plaza-plaza

kita percaya bahwa sedari dahulu
orang-orang telah berteriak,
mengepalkan tangan pada Izrail,
melempari gedung-gedung beton,
menjejali ruang-ruang tahanan,
meludahi hakim di pengadilan,
dan menjual nama-nama tuhan

Diana, ingatanmu terasing di gemerlap kota
mengembara jauh pada wajah seorang bapak
yang terancam sawahnya, pada ketinggian
gunung yang gundul lahannya
; lalu tersesat di cakrawala

Diana, suatu hari gunung-gunung itu
akan runtuh menimpa dada kita,
menghimpit kenangan di desa-desa
lantas kita kaku dan hanya bisa bertanya;
“kenapa orang-orang masih bisa merebahkan
kepala, dan terus memasuki dunia yang papa?

Diana, bagi kita hujan masih serupa tombak
yang menusuki ubun-ubun. sementara dada ini,
semakin disesaki plaza-plaza



2011











Surat untuk Diana


jika esok kau menemukan jasadku,
maka semayamkanlah segalanya,
sedalam ingatanmu

telah kupilih engkau dengan segala kegetiran
yang selama ini pecah di kepalaku. bersama
suara-suara asing, tuduhan yang selalu
menjadi kematian bagi anak-anak. dan ketika itu,
ketika bulat matamu menyusun dan menyimpan
sendiri tangis-tangis kelaparan, ketidakpercayaan
nyanyian pengkhianatan, aku tengah tersesat
di dalam kepalaku sendiri.

sementara kau masih terus berjalan,
mencari namaku dari spanduk ke spanduk,
dari lampu ke lampu, dari bengisnya penguasa
ke penguasa, dan terus menyusuri kota demi kota.
tetapi apa yang kau temukan, selain janji-janji
yang disucikan, dirapalkan, dan dipalsukan.

oh, Diana yang malang, aku begitu ingin
mengingatmu sebagai seorang kekasih,
sebagai rindu yang tumbuh dari keasingan.
tetapi apa dayaku, tawa anak-anak itu masih serupa
dentuman yang kuat di setiap hentakkan jantungku.
dan kota-kota itu, penguasa-penguasa itu,
lampu-lampu itu, spanduk-spanduk itu, tak pernah
berhenti menujumku, mengejar kematianku.

Diana,
aku masih mengingat ketika kau tatapkan mata itu,
kau kecupkan bibir itu, dan kau belaikan tangan itu.
semuanya abadi sebagai gejolak perlawanan kita,
sebagai perjuangan yang sia-sia. ah, Diana, mengapa
harus kita yang mengepalkan tangan, mengapa harus
kita yang menumbuh dan membinasakan kenangan.

Diana, anak-anak itu akan mengingat kita,
sebagai kenangan, sebagai mainan.

dan jika esok kau temukan jasadku,
maka semayamkanlah segalanya,
sedalam ingatanmu.



2011








Diana dan Pasar Lama


Diana, ketika sebenarnya kita
telah tersesat dan kehilangan,
maka kita harus mencari,
menemukan dan kembali

entah mengapa setelah plaza dan market
kini sama-sama saling bermunculan
dengan kabar yang menggembirakan,
aku justru merasa semakin ketakutan

Diana, pinjamkanlah dadamu sebentar saja,
sebagai jalan pulang, pengganti pasar lama
sebab, Diana, karena hanya dengan dadamulah,
aku mampu merasakan kembali keberanian



2011-2012





2 komentar:

  1. kenapa sajakku selalu sendu?
    dan kenapa sajakku selalu tentangmu?
    seperti mengukir kenangan, mengabadikan di sudut-sudut gelap hatiku, sementara di lain sisi hatiku berusaha kuat untuk menghapus jejakmu.

    BalasHapus
  2. barangkali hanya semacam keinginan yang terhempas dari kenyataan, lantas perasaan, mengukuhkannya sebagai sebuah luapan, yang dituliskan ataupun tak.

    BalasHapus